1. Pengantar
Dewasa
ini, orang beriman seringkali dihadapkan pada realitas yang bukan
berasal dari dirinya sendiri. Salah satunya ialah fenomena tentang
hipnotis dan hipnoterapi. Karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman,
orang kerap kali bingung untuk menyikap realitas ini. Mengapa terjadi
adanya hipnotis dan hipnoterapi? Apa penyebabnya? Bagaimana kita
menyikapinya? Langkah praktis apa yang harus kita lakukan? Kita perlu
memahami realitas ini dalam terang iman Kristiani.
2. Apa itu Hipnotis dan Hipnoterapi?
2.1. Sebuah Kasus Hipnotis dan Hipnoterapi
Suatu
ketika kami mendapatkan email dari seorang umat yang menanyakan tentang
sebuah gejala psikologis, yaitu hipnotis dan hipnoterapi. Karena, ia
merasa ada “sesuatu yang tak beres” pada waktu ia mengikuti salah satu
pertemuan yang dipimpin oleh seorang ahli dalam bidang tersebut yang
dikenal dengan “hypnoterapist”. Dalam email tersebut, ia menyatakan ada
beberapa aspek yang bertentangan dengan iman Kristiani, yaitu:
- Untuk sementara kita tinggalkan dulu Tuhan kita, kita fokus pada setiap pikiran kita sendiri dulu.
- Katakan pada diri anda dan dalam pikiran anda, “Saya adalah produk pikiran saya!”
- Jika anda mengijinkan saya, maka saya akan merubah pikiran anda dari yang takut, dan dari segala sikap pesimis menjadi lebih baik.
Setelah
itu, peserta pun diajak untuk melewati kayu-kayu yang telah dibakar
oleh api dan dengan tuntunan ahli tersebut, para peserta menginjak
kayu-kayu yang sedang terbakar itu. Dari kejadian tersebut, timbul aneka
reaksi yang timbul sekaligus begitu banyak kebingungan mengenal
realitas ini, yang pada intinya ialah apakah praktek seperti ini sesuai
atau bertentangan dengan iman Kristiani?
2.2. Arti Hipnotis dan Hipnoterapi
Demi menjawab pertanyaan itu, kita perlu memahami hipnotis dan hipnoterapi. Hipnotis
ialah suatu keadaan di mana seorang secara rela di bawah kendali
seorang ahli untuk mendapatkan suatu perubahan tertentu dalam dirinya.
Sedangkan, hipnoterapi menunjuk pada bidang pekerjaan yang
dilakukan seorang ahli hipnotis. Mengingat kedua kata tersebut sulit
dibedakan dalam kenyataannya, maka penggunaan kata-kata tersebut
menunjuk pada realitas yang sama. Biasanya seorang yang mengalami rasa
takut, khawatir bahkan depresi mengunjungi seorang ahli hipnotis supaya
ia dibebaskan dari perasaan negatif dan traumatis tersebut. Kemudian,
ahli hipnotis tersebut mengajak seseorang untuk memusatkan perhatiannya
pada sebuah objek, sebuah pemikiran, atau kata-kata dari seorang ahli
hipnotis atau hipnoterapis.
Setelah
beberapa waktu, orang akan mengalami keadaan hipnotis, yaitu suatu
keadaan tak sadar, sepenuhnya berada dalam kekuasaan ahli hipnotis.
Keadaan tersebut dapat terbagi dalam tiga hal, yaitu analgensia: suatu cara untuk mengolah rasa sakit dan membebaskannya, amnesia: orang kehilangan ingatannya untuk beberapa waktu, dan age regression:
orang kembali mengingat suatu peristiwa dalam masa lampau sebagai akar
dari persoalan yang dihadapinya. Dalam keadaan ini, seorang ahli
hipnotis akan memerintahkan seseorang untuk mengikuti apa yang ia
kehendaki atau untuk mendapatkan hasil atau perubahan yang ingin
dicapai, misalnya dari rasa sakit menjadi sembuh, dari rasa takut
menjadi berani, dan dari pengalaman sakit di masa lampau menjadi keadaan
damai. Tentu saja metode ini berbeda dengan proses terapi psikologis
pada umumnya, dan realitas ini tak sama dengan praktek meditasi pada
umumnya (lh. L. Dodge Fernald dan Peter S. Fernald, Introduction to Psychology, Fifth Edition, India: A.I.T.B.S. Publishers, & Distributors, 1999, p. 167-170).
2.3. Penafsiran atas Hipnotis dan Hipnoterapi
Dari
pengertian tersebut, ada dua hal yang patut diperhatian. Di satu pihak,
memang patut diakui bahwa hipnotis dapat membantu seseorang, namun hal
itu tak dapat dimutlakkan pada semua orang. Dalam hipnotis, mungkin
orang dapat terbantu untuk mendapat penyembuhan fisik, ataupun mengalami
pembebasan dari gangguan kejiwaan atau ingatannya. Akan tetapi, di lain
pihak, realitas ini juga mengandung resiko tinggi dan tidak mustahil
sarat dengan penyimpangan, dan pada akhirnya menjadi pintu masuk bagi
kuasa si jahat. Sebab, hipnotis dapat disalahgunakan untuk berbagai
tindakan kejahatan seperti pencurian, perampokan, bahkan tindakan sadis
lainnya (bdk. dengan tindakan kriminal dengan penggunaan ilmu gendam
yang pernah dimuat dalam beberapa surat kabar beberapa waktu yang lalu).
Selain itu, hipnotis dapat menjadi pintu masuk bagi kuasa si jahat
untuk menindas, menjerat dan merugikan kita. Itulah sebabnya, realitas
ini harus dipandang dengan sikap yang penuh hati-hati dan waspada. Kalau
perlu, kita harus menghindarinya dan hanya hidup dalam iman yang benar
kepada Tuhan Yesus Kristus dan setia pada ajaran Gereja-Nya.
3. Penilaian Iman Kristiani atas Hipnotis dan Hipnoterapi
3.1. Ajaran Kitab Suci
Kendati
fakta tentang hipnotis baru ditemukan pada zaman modern ini, namun
realitasnya telah dijumpai dalam ajaran Kitab Suci, baik itu Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Allah hanya
mengizinkan orang Israel meminta petunjuk dari-Nya melalui doa, dan
bimbingan para nabi yang telah diutus-Nya (lh. Kej 25:22; 1 Sam 9:9; 1
Raj 14:5; 2 Raj 1:16; 3:11; 8:8; 22:13,18; Yer 21:2; 37:3,7; Yeh
14:7,10; 20:1,3; 36:37). Selain itu, Allah berbicara kepada umat Israel
melalui mimpi (bdk. Kej 12-50). Akan tetapi, praktek-praktek memanggil
dan memperoleh kekuatan dari arwah, setan, dewa, nenek moyang sangat
dikecam, dan dinilai negatif dalam Perjanjian Lama (bdk. Yes 2:6; 19:3;
Yer 27: 9-11). Demikian juga para nabi melawan para penenung (lh. Hak 6:
36-40), peramal (lh. Yes 2:6; 57:3; Yer 27:9; Mi 5:12), penelaah,
penyihir, pemantera, orang yang mempunyai kemampuan untuk bertanya
kepada arwah dan meminta petunjuk kepada orang-orang mati (bdk. Ul 18:
9-14). Oleh sebab itu, umat Israel hanya boleh memohon, meminta bantuan
dan beribadah kepada Allah saja (bdk. Kel 20: 1-11). (bdk. Berthold
Anton Pareira, “Perjanjian Lama dan Kepercayaan akan Magi”, dalam Dwijo
Atmoko dan Donatus Sermada, eds., Alam Gaib, Budaya dan Iman, Seri Filsafat Teologi Widya Sasana Vol. 11, No. 10, 2002, hlm. 103-109).
Dalam
Perjanjian Baru, kami menemukan beberapa teks yang memuat istilah dunia
magis, yaitu segala sesuatu di luar dunia manusia dan bertentangan
dengan kuasa Allah, berarti realitas itu menunjuk pada kekuatan roh
jahat, sihir, penenung, tukang jampi. Dalam Kis 8: 9-25, seorang tukang
sihir akhir bertobat karena ia melihat kuasa Allah lewat Filipus jauh
lebih besar daripada kuasanya, namun ia masih mengira Roh Kudus dapat
dimanipulasi oleh manusia. Kemudian dalam Kis 13: 6-12, seorang tukang
sihir dikecam oleh Paulus sebagai nabi palsu, penyesat, dan anak iblis.
Dalam Kis 16: 16-18, seperti Yesus Kristus mengusir roh-roh jahat (bdk.
Mat 8:28-34; Mrk 1:21-28; Luk 4: 31-37), demikian juga Paulus mengusir
roh jahat yang mengganggunya (lh. Kis 16:18). Kis 19: 13-16 menunjukkan
kekeliruan tukang jampi mengakibatkan kesalahan fatal bagi mereka. Lalu
dalam Kis 19: 18-19, para tukang sihir bertobat dan membakar buku-buku
sihir karena mereka melihat kuasa Allah jauh lebih besar daripada
kekuatan sihir. Gal 5: 20 menunjuk sihir adalah perbuatan si jahat,
yakni orang yang masih dibelenggu dosa dan kuasa kegelapan. Akhirnya
dalam Why 9:21; 18:23, ilmu sihir itu sungguh menyesatkan, karena itu
orang harus bertobat dari segala prakter sihir dan ilmu nujum itu (bdk.
H. Pidyarto, “Sikap Perjanjian Baru terhadap Segala Gejala Paranormal”,
dalam Dwijo Atmoko dan Donatus Sermada, eds., Alam Gaib, Budaya dan Iman, Seri Filsafat Teologi Widya Sasana Vol. 11, No. 10, 2002, hlm. 128-132).
Berdasarkan
data-data dari Kitab Suci, meskipun hipnotis dan hipnoterapi tidak
dapat begitu saja dimasukkan dalam praktek-praktes magis, akan tetapi
realitas tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur magis, yaitu
mereka tidak menggunakan sarana yang diberikan Tuhan, yakni iman dan doa
kepada Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus, melainkan mereka
mengandalkan kekuatan dalam diri mereka sendiri dan jika mereka tidak
hati-hati dapat membuka diri pada kuasa si jahat yang disebut dengan
iblis. Dengan demikian, hipnotis dan hipnoterapi sesungguhnya suatu metode atau sarana yang bukan dan bertentangan dengan Allah. Oleh sebab itu, gejala-gejala tersebut merupakan salah satuhambatan dan rintanganterbesar iman kepada Allah yang benar dan Tuhan kita Yesus Kristus.
3.2. Magisterium Gereja
Setelah
kita mendengarkan kesaksian Kitab Suci tentang kepercayaan magis,
kiranya kita perlu memahami posisi terbaru Gereja Katolik yang secara
ringkas dirumuskan dalam Katekismus Gereja Katolik.
Allah
dapat mewahyukan masa depan kepada para nabi dan orang-orang kudus yang
lain. Tetapi sikap Kristen ialah menyerahkan masa depan dengan penuh
kepercayaan kepada penyelenggaraan ilahi dan menjauhkan diri dari setiap
rasa ingin tahu yang tidak sehat. Siapa yang kurang waspada dalam hal
ini bertindak tanpa tanggung jawab (Katekismus Gereja Katolik, 2115).
Segala
macam ramalan harus ditolak: mempergunakan setan dan roh jahat,
pemanggilan arwah atau tindakan-tindakan lain, yang tentangnya orang
berpendapat tanpa alasan, seakan-akan mereka dapat “membuka tabir” masa
depan (bdk. Ul 18:10; Yer 29:8). Di balik horoskop, astrologi, membaca
tangan, penafsiran pratanda dan orakel (petunjuk gaib), paranormal dan
mempunyai medium, terselubung kehendak supaya berkuasa atas waktu,
sejarah dan akhirnya atas manusia; demikian pula keinginan menarik
perhatian kekuatan-kekuatan gaib. Ini bertentangan dengan penghormatan
dalam rasa takwa yang penuh kasih, yang hanya kita berikan kepada Allah (Katekismus Gereja Katolik, 2116).
Semua
praktik magi dan sihir, yang dengannya orang ingin menaklukkan kekuatan
gaib, supaya kekuatan itu melayaninya dan supaya mendapatkan suatu
kekuatan adikodrati atas orang lain - biarpun hanya untuk memberi
kesehatan kepada mereka - sangat melanggar keutamaan penyembahan kepada
Allah. Tindakan semacam itu harus dikecam dengan lebih sungguh lagi,
kalau dibarengi dengan maksud untuk mencelakakan orang lain, atau kalau
mereka coba untuk meminta bantuan roh jahat. Juga penggunaan jimat harus
ditolak. Spiritisme sering dihubungkan dengan ramalan atau magi. Karena
itu Gereja memperingatkan umat beriman untuk tidak ikut kebiasaan itu.
Penerapan apa yang dinamakan daya penyembuhan alami tak membenarkan
seruan kepada kekuatan-kekuatan jahat maupun penghisapan orang-orang
lain yang gampang percaya (Katekismus Gereja Katolik, 2117).
Percaya
sia-sia adalah satu penyimpangan dari penghormatan yang harus kita
berikan kepada Allah. Ia kelihatan dalam penyembahan berhala seperti
dalam pelbagai bentuk ramalan dan magi (Katekismus Gereja Katolik, 2138).
3.3. Tradisi Spiritualitas Gereja
Demikian
juga dalam tradisi spiritulitas Gereja yang diwakili oleh seorang
teolog, mistik dan pujangga Gereja yang bernama Santo Yohanes dari
Salib. Kendati pada masanya, belum ditemukan adanya gejala hipnotis dan
hipnoterapi, namun pada zamannya itu ia kerap memperingatkan
bahaya-bahaya yang bersinggungan dengan kuasa apapun yang bukan berasal
dan bertentangan dengan kuasa Tuhan sendiri. Mengapa? Meskipun, hipnotis
dan hipnoterapi baru dikenal di zaman modern, namun realitas itu nyaris
mirip dengan kemampuan paranormal yang bersifat umum, netral, akan
tetapi juga amat terbatas dan mengandung resiko bahaya membuka diri pada
kuasa kegelapan.
Selain
itu ada perbedaan yang tegas antara penyembuhan dari Tuhan dan
penyembuhan paranomal (termasuk dalam hal ini: hipnotis dan
hipnoterapi). Bila orang mengalami penyembuhan dari Tuhan,
buahnya sungguh jelas, bahwa penyembuhan itu meliputi seluruh diri
pribadinya dan ia mengalami bahwa Yesus adalah Allah yang hidup dan
menyelamatkan hidupnya. Dia pun semakin tumbuh dalam iman yang hidup dan
dijiwai oleh kebajikan kerendahan hati yang mendalam. Sedangkan, penyembuhan paranormal
hanya bersifat sementara, sering kambuh, dan kerap kali orang jatuh
dalam dosa yang besar, yaitu kesombongan dan kerakusan rohani.
Oleh
sebab itu, Santo Yohanes dari Salib menasehatkan supaya orang yang
tidak melekat atau tidak terikat pada perkara-perkara duniawi, yang
sepintas lalu seakan-akan memiliki kesan umum baik, namun di balik semua
itu hanya akan membawa kepada penyesatan dan penyimpangan. Sebaliknya,
orang juga tak boleh terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat rohani,
sebab itu semua hanya bersifat pemberian, dan bukan Allah. Bila orang
melekat pada hal-hal tersebut, mereka tidak akan sampai kepada Allah dan
pada akhirnya mereka tidak memperoleh keselamatan kekal. Karena itu,
orang harus menempuh jalan kelepasan, yaitu jalan pengosongan diri,
penyangkalan diri dari segala sesuatu yang bukan Allah. Dalam hal ini,
jika hipnotis dan hipnoterapi menjadi suatu hambatan dalam perjalanan
kita menuju Allah, maka realitas itu harus dilepaskan dan ditanggalkan
demi kemuliaan Allah, keselamatan kita dan jiwa-jiwa (bdk. Yohanes
Indrakusuma, Kemampuan Paranormal dan Iman Kristen, Cikanyere: Pertapaan Shanti Bhuana, 2004, hlm. 54-63).
4. Petunjuk-petunjuk Praktis yang Harus Dilakukan
Supaya
kita tidak jatuh dalam penyimpangan dan kita tidak terjerat oleh
perangkap si jahat yang disebut iblis, maka kita harus mendengarkan dan
melaksanakan apa yang diajarkan Santo Yohanes dari Salib, dalam karya
monumentalnya, yaitu Malam Gelap Jiwa. Langkah-langkah praktis yang harus dilakukan ialah:
- Kita menyadari bahwa tanpa bantuan rahmat Allah, kita tidak akan berbuat apa-apa (bdk. Yoh 15:5). Oleh sebab itu, dengan pertolongan rahmat Allah, kita belajar menerima kelemahan dan kerapuhan kita, supaya kita mampu menerima segala sesuatu yang tak dapat kita terima, misalnya kekurangan dan kesalahan orang lain.
- Karena tak satupun baik dari diri kita sendiri, maupun kekuatan dunia, apalagi kekuatan si jahat yang dapat memberikan hidup yang abadi, maka kita hanya berpaling kepada Allah saja dalam iman, pengharapan dan kasih. Itulah sebabnya, kita belajar untuk “melupakan segala sesuatu”, “memelihara damai batin” dan “hanya memandang Allah dalam iman dan kasih.”
- Iman pun harus disertai dengan tindakan nyata, sebab iman tanpa perbuatan akan mati dan sia-sia (bdk. Yak 2: 20, 26). Oleh sebab itu, setiap orang beriman perlu sekali melatih diri dalam kebajikan-kebajikan kristiani, khususnya dalam kebajikan kerendahan hati. Dengan bertekun pada iman yang hidup, hidup doa yang mendalam, penghayatan Sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan Pengakuan Dosa, penyangkalan diri dan kerendahan hati, kita akan sampai pada tujuan hidup yang kita rindukan, yakni persatuan dengan Allah.
5. Penutup
Akhirnya,
kami hanya mau menyatakan satu hal. Bahwa dalam hidup kita perlu
mengerti dengan baik tujuan yang hendak kita capai, yakni persatuan
dengan Allah dan sarana yang benar dan tepat untuk mencapainya, yakni
melalui iman, doa, penyangkalan diri dan kerendahan hati. Bila ternyata
kita menyadari segala yang ada di dunia ternyata bertentangan dengan
kuasa Allah, yakni segala bentuk kekuatan yang terselubung dalam bentuk
hipnotis dan sejenisnya, maka kita mohon rahmat Allah supaya kita berani
meninggalkan itu semua dan kita hanya rela hidup hanya dalam iman dan
melalui iman, seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus, “Orang benar
akan hidup oleh iman” (Rm 1:17).
Serafim Maria CSE
Salah satu Penulis di situs carmelia.net
Sumber: Carmel of St. Elijah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar