Selasa, 16 Oktober 2012

mainbnr
Jln. Jampea  / Jln. Ho Eng Djie
MESKI berdarah Tionghoa, dalam dirinya mengalir kental jiwa Sulsel. Mereka membuktikannya dengan melahirkan ratusan karya seni. Lirik lagu, pantun/puisi, hingga novel.
SENIMAN dan sastrawan Sulsel turunan Tionghoa itu di antaranya Ho Eng Dji, Ang Ban Tjiong, dan Liem Kheng Yong. Mereka pernah berjaya di zaman sebelum kemerdekaan RI. Bahkan, masih ada yang eksis sampai sekarang, seperti Arief Gossin. Seperti apa kiprah para seniman Sulsel turunan Tionghoa ini?

Langkah wanita paruh baya itu  bergegas ketika memasuki teras kediamannya di Jl Samiun No. 28.  Siang itu, Sabtu, 7 Juli, wanita dengan postur tubuh yang cukup tinggi ini  baru tiba dari salon. Senyumnya mengembang ketika bertemu FAJAR. Tanpa banyak basa-basi, wanita yang mengubah gaya rambutnya menjadi ikal itu mengajak berbincang di ruang tamu.

Pintu ruang tamu yang tersingkap, memamerkan deretan pigura bergambar foto keluarga. Salah satunya, ketika Farida Angliadi, nama si wanita tadi, menerima sematan lencana emas dari Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, pada tahun 2007 lalu. Dia mewakili almarhum pamannya, Ang Ban Tjiong untuk menerima penghargaan sebagai putra Indonesia Tionghoa atas jasa dan pengabdiannya terhadap seni dan budaya.

Usai mengeluarkan makanan kecil dan minuman, Farida yang ramah ini berkisah, dia tak pernah bertemu langsung dengan pamannya itu.  Lantaran itu, cerita mengenai pamannya hanya diperoleh dari ayahnya, Ang Ban Tjiet yang merupakan salah satu kakak Ang Ban Tjiong. “Ang Ban Tjiong itu adik bungsu ayah saya dari delapan bersaudara. Dia meninggal muda,” katanya memulai perbincangan.

Wanita kelahiran Makassar, 22 Maret 1946 ini mengisahkan, darah seni memang mengalir kental di keluarga mereka. Itu sudah berlangsung secara turun temurun sejak leluhurnya masih tinggal di China. Tak heran apabila, Ang Ban Tjiong bersaudara adalah para seniman.

“Ayah saya bersaudara rata-rata pintar memainkan hampir semua alat musik. Mereka juga pandai menyanyi,” jelas wanita bernama Tionghoa Ang Soei Tjeng.

Mengenai pamannya, Ang Ban Tjiong, selain piawai memainkan alat musik, seniman kelahiran 1910-1938 itu juga mahir menulis pantun. Uniknya, karya sastra itu ditulis dalam dua lirik Melayu-Makassar.

“Pohon pisang jai rapponna, daunnya bagus moncong bulona, cintaku saya mange ri nona, ibarat gunung kalompoanna,” ucap Farida, mempraktikkan.

Nenek tujuh  cucu ini melanjutkan, pamannya itu memang hobi menulis pantun sejak remaja. Kegemarannya menjadi-jadi ketika dia patah hati pada seorang gadis turunan Tionghoa yang hendak melanjutkan studi ke Jepang.

“Gadis itu pergi ke Jepang untuk sekolah. Paman pun patah hati. Dia lalu menyepi ke Malino dan menulis pantun lebih banyak lagi,“ papar wanita yang berdarah Tinghoa dan Arab ini.

Memang, wajah Farida tidak seperti kebanyakan warga Tionghoa asli. Hidungnya lebih mancung dengan kelopak  mata besar. Cantik.

Farida memprediksi, karena patah hati itu, inspirasi pamannya kian terlecut dalam membuat pantun hingga akhir hayatnya. Tak tanggung-tanggung, dia menghasilkan 199 karya pantun selama hidupnya.

Ibu empat anak ini lalu mengeluarkan sebuah kumpulan buku pantun karya Ang Ban Tjiong. Pada kata pengantar ejaan lama, Ang Ban Tjiong yang tetap membujang itu menulis bahwa dirinya sengaja mengawinkan pantun berbahasa Melayu dengan Makassar itu agar orang Sulsel selalu mengingat bahasa aslinya, Bugis-Makassar. 

“Tiada kalah aloesnja, sedapnja dan bagoesnja, bila maoe dibandingken dengan pantone bahasa Melajoe,” tulisnya.

Menurut Ang Ban Tjiong, pantun-pantun itu bukan hanya mengenai cinta tapi juga soal kehidupan berupa nasihat dan buah pikiran. Katanya, pantunnya itu berguna bagi pemuda-pemuda yang suka menjanji dan orang yang menjadikannya hiburan hati di kala senggang. 

“Kadang-kadang, saya biasa didaulat untuk membacakan ulang pantun paman saya ini di acara seremonial. Saya biasa baca empat pantun. Ini cara saya untuk melestarikannya,” aku Farida, anak sulung dari pasangan  Ang Ban Tjiet dan Kwee Goak Kiong, keduannya almarhum.

Diakui Farida, dia amat mengagumi sosok pamannya yang telah memperkaya khasanah budaya seni dan sastra Makassar. “Saya bangga dan mengaguminya. Usianya benar-benar dimanfaatkan untuk menghasilkan karya sastra,” pujinya terharu.

Sosok Ho Eng Dji

Selain Ang Ban Tjiong, ada juga sosok Ho Eng Dji, sebagai penyair dan pencipta lagu daerah Sulsel. Dikisahkan Pengamat Multietnik Sulawesi Selatan, Shaifuddin Bahrum, dalam banyak kajian sastra terutama menyangkut sejarah sastra di daerah ini, nama Ho Eng Dji tidak ditemukan..Bahkan dalam khasanah lagu-lagu daerah di Sulawesi Selatan namanya tidak pernah muncul. “Sekalipun lagu ciptaannya masih dinikmati oleh masyarakat di daerah ini, “ paparnya di kediamannya, Perumahan Yusuf Beauty Gowa,

Padahal, penyanyi keturunan Tionghoa itu menciptakan syair dan lagu yang sangat populer seperti;  Ati Raja, Ammaq Ciang, Dendang-dendang dan masih banyak lagi.

Sambil membuka buku berjudul Bunga Sibollo (Kumpulan Sajak/Kelong Makassar Ho Eng Dji) yang ditulis Shaifuddin sendiri, dia menceritakan, bakat seni Ho Eng Dji (HED) mulai bergolak ketika berusia 20-an. 

Pada 1938, sebuah perusahaan rekaman piringan hitam (plaat gramafon) di Surabaya mengajak lelaki kelahiran Kassiq Keboq (Kampung China) Kabupaten Maros, 27 Juli 1906 itu bersama kelompoknya “Orkes Sinar Sedjati” melakukan rekaman.

“Ketika Orkes Sinar Sedjati dan Ho Eng Djie belum memiliki persediaan lagu yang cukup, pimpinan grup ini mendekati perkumpulan Gampang Baba Makassar,” lanjutnya. Kelompok yang terakhir ini merupakan keturunan China Makassar yang memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik.

Bersama mereka, mulailah mempersiapkan lagu-lagu mereka yang berirama Melayu-Makassar-Mandarin. Lagu-lagu yang dipersiapkan antara lain; Dendang-dendang, Atiraja, Pat Siang Teng, Sio Sayang, Angko Baba dan lainnya.

Sepanjang tahun 1928 sampai dengan 1940, oleh Yang Wen Chiao dalam terbitan majalah Java Critic (April 1949) tercatat kurang lebih 20 ribu keeping plaat hitam lagu-lagu Makassar, Bugis dan Mandar yang telah direkam atas prakarsa Ho Eng Djie. Piringan hitam ini habis terjual sebelum perang pasifik.

Atas perjuangan Ho Eng Djie dalam bidang kesenian, Presiden RI, Soekarno, berkenan menerimanya di Istana Negara pada tanggal 11 September 1953. Ho Eng Djie  diundang untuk membicarakan berbagai hal perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan terutama mengenai sajak-sajak dan lagu-lagu daerah (Bugis, Makassar, Mandar, dan Selayar). 

Ho Eng Djie meninggal pada 7 Maret 1960 di Makassar. Dia meninggal dalam keadaan kondisi kehidupan yang sederhana di sebuah rumah di Jl Muhammadiyah. 

Dalam kacamata Shaifuddin Bahrum, HoEng Djie adalah pembuat lagu-lagu Makassar yang sangat jenius. Kata-kata syairnya dipilih berdasarkan pertimbangan untuk mencapai kebutuhan persajakannya dan makna yang ingin diungkapkan. Ia menyelam ke dasar kehidupan dan menemukan kosakata seperti tallasaq (hidup), lino (dunia), anja (dunia akhirat), jamming (mati) batara (Tuhan) yang sangat terkesan religius.

“Diksi itu dibaurkan dengan hal-hal yang sangat menduniawi (secular) sifatnya seperti kata balloq (arak), kalengku (diriku), biseang (perahu), tappereq (tikar), dan lainnya. Sehingga terkesan bahwa Ho Eng Dji ingin membicarakan banyak hal tentang dua kutub itu,”

Nasionalisme Tionghoa

Kehadiran orang-orang Tionghoa di Indonesia, bagi tokoh Tionghoa, Arwan Tjahjadi, telah memiliki banyak peran dalam membangun sejarah negeri ini. Bahkan, peran seniman atau sastrawan Tionghoa itu hadir sejak zaman pra kemerdekaan RI.

“Ini membuktikan bahwa nasionalisme orang Tionghoa telah terbangun sebelum zaman kemerdekaan RI,”  tutur Arwan. Penikmat sastra dan seni Sulsel ini melanjutkan, orang Tionghoa pada dasarnya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap daerah yang dia tempati. Ibarat pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak di situ pula langit dijunjung. Hal ini berlaku pula bagi orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia.

“Orang China perantau, dia sangat menghargai kebudayaan setempat. Ketika menetap disitu, dia berbaur dan menganggap bahwa itu adalah bagian dari wilayahnya. Baru di era Soeharto, mulai timbulnya sekat antara pribumi dan Tionghoa,” jelas lelaki kelahiran Makassar, 30 Oktober 1952.

Arwan memprediksi, ada sekira lebih sepuluh orang Tionghoa yang menjadi seniman di era tahun 1930-an. Namun, yang eksis hingga kini hanya satu dua termasuk penulis roman sejarah, Arief Gossin.  Kesan selama ini yang terbentuk di masyarakat bahwa orang Tionghoa hanya bergerak di bidang bisnis maupun sosial.  Padahal, sesungguhnya orang Tionghoa juga menggemari sastra.“Sekiranya seni bisa menjadi sandaran kehidupan sehari-hari, mungkin banyak yang tertarik. Akhirnya, banyak orang Tionghoa yang beralih ke bisnis atau soaial. Samalah dengan orang pribumi,” paparnya.

Direktur Utama Hotel Losari Group ini berharap, kendati para sastrawan Tionghoa itu telah tiada, masyarakat Sulawesi Selatan selalu mengenang. Misalnya dengan pengubahan nama Jl Jampea menjadi Jl Ho Eng Dji. “Pemerintah telah mengubahnya dalam sebuah perda tapi masyarakat masih banyak yang belum kenal. Kan sia-sia,” tandasnya.

Arwan menilai, bagaimanapun karya sastra memiliki nilai budaya tinggi yang diangkat berdasarkan kehidupan sehari-hari. “Tidak menutup kemungkinan ada hal-hal positif yang bagus diaplikasikan apalagi yang membawa sifat kesakralan seperti yang berhubungan dengan Tuhan,” pesannya bijak. (yan-sbi-iad/ars-pap)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar