Ang Ban Tjiong lahir pada
tahun 1910 di Makassar , Sulawesi Selatan putra kedua Ang Tjong
Sioe. la berpendidikan Hollandsch Chineesche School (HCS). Lulus dari
sekolah menengah, bekerja di majalah Favoriet yang dipimpin oleh
pamannya, Ang Tjong Giao. Sayang sekali majalah Favoriet tidak beredar
lama, kendati dibantu oleh para penyusun ternama di Jawa, seperti Ong
Ping Lok dan Kho Ban Siok. la kemudian bekerja di harian Pemberita
Makassar.
Tulisannya kebanyakan mengenai mistik, kehidupan spiritual, dan
masalah sosial, sejalan dengan minatnya yang besar pada Gerakan Theosofi
Annie Bessant dan Krishnamurti. la juga banyak menulis cerpen dengan
nama samaran Mendoesin. Ang menerbitkan satu buku kecil berjudul
Pantoen Melajoe Makassar. Buku ini berisi 200 syair sejumlah 40 halaman
yang ditulis dalam bahasa Melayu bercampur bahasa Makassar.
Pada masa Ang , Masyarakat di Makassar tertarik dengan pantun-pantun
berbahasa Melayu. Kendalanya adalah bagaimana merukunkan kedua bahasa
dan tiga budaya , baik Melayu maupun Makassar dan Tionghoa ? Ang
mengambil jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun bilingual
Makassar dan Melayu. Disekujur pantun-pantunnya kedua bahasa digunakan
seimbang dan konsisten. Pantun itu dipengaruhi oleh pantun-pantun
Melayu Jakarta, dan bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Dan
terlihat penggunaan leksikal yang merupakan hibrid dari tiga budaya ,
Makassar , Melayu dan Tionghoa.
Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait , memiliki nilai
estetika tersendiri karena kandungan kekayaan dan keragaman budaya.Ang Ban Tjiong bersusah payah dalam memilih kata Melayu dan
menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan
menjadi bait yang harmonis dan penuh makna.
Pantun Ang Ban Tjiong ini sangat menarik dan ia menggunakannya
sebagai media berceritera. Antara satu bait dengan bait lainnya terdapat
hubungan erat yang saling sambung menjadi pantun berkait, seperti
bait-bait berikut ini:
Enak rasanya rappo kadalle (buah kedele)
Didjoeal moerah djai taralle (banyak terbeli)
Soenggoe nona angerang dalle, (membawa rezeki)
Harep dateng a’mole-mole. (berkali-kali)
Pait rasanya dje’ne pa’balle, (cairan obat)
Tidak melawan ang-nginung sale (minum sale)
Harep dateng a’mole-mole, (berkali- kali)
Djikaloe bisa sabole-bole. (bersama-sama)
Syair-syair Ang Bang Tjiong juga berkisah tentang gadis cantik ,
gambaran kecantikannya , dan antara wanita dengan harta dan tahta.
Deskripsi kecantikannya bisa dilihat dari penggalan “Eloknya nona
sangkamma bunga” , “Eloknya nona tenna callana” , “Manisnya nona
muri-murina” . Hubungannya dengan harta bisa dilihat dari penggalan
“Harta itu niak boyanna ” , “Cinta itu tak tena ballianna ” . Unsur
budaya Tionghoa terlihat dari kata toke , kampong Cina , nona.
Masuk di hutan akboya jonga
Mesti membawa kongkong pajonga
Eloknya nona sangkamma bunga (seperti bunga)
Jadikan ruma tuli sumanga (selalu bersemangat)
[.......]
Bagusnya bunga lango-langona
Dicium wangi nyamang rasanna
Eloknya nona tena callana (tanpa cela)
Bulan purnama erok rapanna (perumpamaannya)
[.......]
Bagusnya kain bunga-bungana
Ibarat mangga moncong bulona
Manisnya nona muri-murina (senyumannya)
Ibarat Intan kalabbiranna (kemuliannya)
[.......]
Sarung sutera nijaik-jaik
Dalam rumah tukang manjaik
Nona seorang minang kungai (paling kusuka)
Paling kupuji-puji bajik pakmaik (baik hati)
[.......]
Orang Dayak anngerang pana
Anak hartawan ri kampong Cina
Harta itu niak boyanna (bisa dicari)
Cinta itu tak tena ballianna (tidak dapat dibeli)
[.......]
Sunting mas tenna anggakna
Jikalau hilang paramatana
Surat menyurat tena balena
Jikalau jauh batangkalennna
[.......]
Jikalau kita jai dowetta
Juga pun tinggi kaporeanta
Ibarat raja tumapparenta
Duduk bertahta ri kalompoanta
Myra Sidharta dalam bukunya menyebutkan bahwa Ang Ban Tjiong
tergolong seniman serba bisa: selain menulis, juga pandai menggambar,
melukis, dan bermusik. la mahir bermain berbagai alat musik dari yang
modern sampai yang tradisional kecapi Bugis, sambil menyanyikan
lagu-lagu Bugis Makassar. la juga menguasai bermacam cabang olahraga.
Kelemahannya adalah ia suka minuman keras. Menurut pengakuannya,
kegemarannya minum tersebut memberinya inspirasi untuk menulis dan
berbicara. Setelah minum beberapa gelas ia dapat bernyanyi sampai larut
malam. [Myra Sidharta , 2004] .
Ang meninggal di usia yang sangat muda , dua puluh delapan tahun.
Tapi karyanya akan tetap abadi dan berguna bagi generasi berikutnya.
Zhonghua Wenhua
REFERENSI :
- Myra Sidharta, “Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman” , 2004
- Ang Ban Tjiong , “Boekoe Pantoen Melajoe-Makassar” , Agent Toko Djid Liong
- Shaifuddin Bahrum , ” Sastra Makassar Karya China Peranakan” , Arsip Mailing-List Budaya Tionghua No 1545 , 29 Maret 2004
- Ery Iswary , “Analisis Semiotik Kultural Pantun Bahasa Indonesia-Makassar”
Sumber : Budaya-Tionghoa.Net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar