Selasa, 16 Oktober 2012

Ang Ban Tjiong [1910-1938] – Pelopor Pantun Melayu Makassar

Ang Ban Tjiong lahir pada tahun 1910 di Makassar , Sulawesi Selatan putra kedua Ang Tjong Sioe. la berpendidikan Hollandsch Chineesche School (HCS). Lulus dari sekolah menengah, bekerja di majalah Favoriet yang dipimpin oleh pamannya, Ang Tjong Giao. Sayang sekali majalah Favoriet tidak beredar lama, kendati dibantu oleh para penyusun ternama di Jawa, seperti Ong Ping Lok dan Kho Ban Siok. la kemudian bekerja di harian Pemberita Makassar.

Tulisannya kebanyakan mengenai mistik, kehidupan spiritual, dan masalah sosial, sejalan dengan minatnya yang besar pada Gerakan Theosofi Annie Bessant dan Krishnamurti. la juga banyak menulis cerpen dengan nama samaran Mendoesin.  Ang menerbitkan satu buku kecil berjudul Pantoen Melajoe Makassar. Buku ini berisi 200 syair sejumlah 40 halaman yang ditulis dalam bahasa Melayu bercampur bahasa Makassar.

Pada masa Ang , Masyarakat di Makassar tertarik dengan pantun-pantun berbahasa Melayu. Kendalanya adalah bagaimana merukunkan kedua bahasa dan tiga budaya , baik Melayu maupun Makassar dan Tionghoa ? Ang mengambil jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun bilingual Makassar dan Melayu. Disekujur pantun-pantunnya kedua bahasa digunakan seimbang dan konsisten.  Pantun itu dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu Jakarta, dan  bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Dan terlihat penggunaan leksikal yang merupakan hibrid dari tiga budaya , Makassar , Melayu dan Tionghoa.

Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait , memiliki nilai estetika tersendiri karena kandungan kekayaan dan keragaman budaya.Ang Ban Tjiong bersusah payah dalam memilih kata Melayu dan menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi bait yang harmonis dan penuh makna.

Pantun Ang Ban Tjiong ini sangat menarik dan ia menggunakannya sebagai media berceritera. Antara satu bait dengan bait lainnya terdapat hubungan erat yang saling sambung menjadi pantun berkait, seperti bait-bait berikut ini:
Enak rasanya rappo kadalle (buah kedele)
Didjoeal moerah djai taralle (banyak terbeli)
Soenggoe nona angerang dalle, (membawa rezeki)
Harep dateng a’mole-mole. (berkali-kali)
Pait rasanya dje’ne pa’balle, (cairan obat)
Tidak melawan ang-nginung sale (minum sale)
Harep dateng a’mole-mole, (berkali- kali)
Djikaloe bisa sabole-bole. (bersama-sama)
Syair-syair Ang Bang Tjiong juga berkisah tentang gadis cantik , gambaran kecantikannya , dan antara wanita dengan harta dan tahta. Deskripsi kecantikannya bisa dilihat dari penggalan “Eloknya nona sangkamma bunga” , “Eloknya nona tenna callana” , “Manisnya nona muri-murina” . Hubungannya dengan harta bisa dilihat dari penggalan “Harta itu niak boyanna ” , “Cinta itu tak tena ballianna ” . Unsur budaya Tionghoa terlihat dari kata toke , kampong Cina , nona.
Masuk di hutan akboya jonga
Mesti membawa kongkong pajonga
Eloknya nona sangkamma bunga (seperti bunga)
Jadikan ruma tuli sumanga (selalu bersemangat)
[.......]
Bagusnya bunga lango-langona
Dicium wangi nyamang rasanna
Eloknya nona tena callana (tanpa cela)
Bulan purnama erok rapanna (perumpamaannya)
[.......]
Bagusnya kain bunga-bungana
Ibarat mangga moncong bulona
Manisnya nona muri-murina (senyumannya)
Ibarat Intan kalabbiranna (kemuliannya)
[.......]
Sarung sutera nijaik-jaik
Dalam rumah tukang manjaik
Nona seorang minang kungai (paling kusuka)
Paling kupuji-puji bajik pakmaik (baik hati)
[.......]
Orang Dayak anngerang pana
Anak hartawan ri kampong Cina
Harta itu niak boyanna (bisa dicari)
Cinta itu tak tena ballianna (tidak dapat dibeli)
[.......]
Sunting mas tenna anggakna
Jikalau hilang paramatana
Surat menyurat tena balena
Jikalau jauh batangkalennna
[.......]
Jikalau kita jai dowetta
Juga pun tinggi kaporeanta
Ibarat raja tumapparenta
Duduk bertahta ri kalompoanta
Myra Sidharta dalam bukunya menyebutkan bahwa Ang Ban Tjiong tergolong seniman serba bisa: selain menulis, juga pandai menggambar, melukis, dan bermusik. la mahir bermain berbagai alat musik dari yang modern sampai yang tradisional kecapi Bugis, sambil menyanyikan lagu-lagu Bugis Makassar.  la juga menguasai bermacam cabang olahraga. Kelemahannya adalah ia suka minuman keras. Menurut pengakuannya, kegemarannya minum tersebut memberinya inspirasi untuk menulis dan berbicara. Setelah minum beberapa gelas ia dapat bernyanyi sampai larut malam. [Myra Sidharta , 2004] .

Ang meninggal di usia yang sangat muda , dua puluh delapan tahun. Tapi karyanya akan tetap abadi dan berguna bagi generasi berikutnya.

Zhonghua Wenhua

REFERENSI :
  1. Myra Sidharta, “Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman” , 2004
  2. Ang Ban Tjiong , “Boekoe Pantoen Melajoe-Makassar” , Agent Toko Djid Liong
  3. Shaifuddin Bahrum , ” Sastra Makassar Karya China Peranakan” , Arsip Mailing-List Budaya Tionghua No 1545 , 29 Maret 2004
  4. Ery Iswary , “Analisis Semiotik Kultural Pantun Bahasa Indonesia-Makassar”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar