HIDUPKATOLIK.com -
Dalam Kursus Persiapan Perkawinan di sebuah paroki, seorang tutor
menanyakan kepada sepasang peserta kursus yang telah berpacaran selama
sembilan tahun, seberapa jauh mereka telah saling kenal. Dengan yakin,
mereka menjawab, 100 persen!
Peristiwa lain. Pada sebuah acara
pemakaman seorang tokoh masyarakat, tampak seorang wanita pelayat.
Wajahnya begitu berduka atas meninggalnya tokoh masyarakat tersebut.
Wanita tersebut menggandeng seorang anak yang berusia sekitar 14 tahun.
Pada waktu jenazah diberangkatkan ke makam, wanita itu jatuh pingsan.
Peristiwa ini menimbulkan keributan tersendiri. Akhirnya, wanita
tersebut diangkat dan dibawa masuk ke dalam rumah duka. Belakangan,
diketahui oleh anggota keluarga yang berduka bahwa wanita itu ternyata
istri kedua dari sang tokoh masyarakat. Malam harinya, seusai kenduri
selamatan di mana seluruh anggota keluarga berkumpul, sang ibu yang
sedang berduka, istri dari orang yang meninggal tersebut mengatakan
kepada anak-anak serta seluruh anggota keluarga bahwa ia merasa tidak
dicintai dan merasa belum mengenal suaminya, meskipun mereka telah
menikah dan menjalani hidup rumah tangga hampir 40 tahun. Sebuah
pernyataan yang kontradiktif, hidup sebagai istri selama 40 tahun namun
merasa belum mengenal suaminya.
Dua kejadian tersebut adalah
gambaran yang saling kontradiktif. Satu pasangan sedang berpacaran
selama sembilan tahun namun masing-masing sudah merasa 100 persen
mengenal pasangannya, sedang pasangan yang kedua sudah hidup bersama
dalam rumah tangga selama hampir 40 tahun namun merasa belum mengenal
pasangannya.
Pertanyaannya, pada pasangan yang berpacaran selama
sembilan tahun, apakah benar mereka sudah saling kenal 100 persen?
Mengapa pasangan yang lebih dari 40 tahun menikah merasa belum saling
kenal?
Proses memahami
Setiap individu dalam
kehidupannya selalu berubah dari hari ke hari, paling tidak berubah
dalam hal usia secara kronologis. Dalam aspek yang lain mungkin juga
berubah, namun secara umum ada pola yang dapat dikatakan sama, baik
dalam cara berpikir, cara bersikap maupun cara berperilaku. Karena
individu setiap hari mengalami perubahan, maka dikatakan setiap individu
unik dan dinamis.
Keluarga terbentuk dari bersatunya dua pribadi
yang berbeda. Secara pribadi mereka masing-masing adalah dinamis,
persatuan dua pribadi yang berbeda dalam sebuah ikatan perkawinan tentu
menimbulkan dinamika yang unik, di mana hanya dirasakan-dialami oleh
mereka sendiri dan tidak sama dengan dinamika pasangan lain. Dalam
proses ini diperlukan kesediaan untuk terbuka menerima pasangan hidup
apa adanya dan juga kesediaan untuk selalu memberi yang terbaik bagi
pasangan hidupnya. Mereka secara pribadi terus-menerus dalam kehidupan
perkawinannya saling berinteraksi berkomunikasi satu dengan yang lain
untuk berusaha saling memahami, dan hal inilah inti dari dinamika relasi
kehidupan perkawinan.
Relasi untuk saling memahami antardua
manusia dalam hidup perkawinan adalah proses timbal balik yang
berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang yang bukan hanya
melibatkan segi pikiran, namun melibatkan juga perasaan maupun perilaku
kedua belah pihak. Orang menyebut proses tersebut sebagai proses
penyesuaian diri. Penyesuaian diri adalah proses dinamis yang bertujuan
mengubah perilaku individu agar terjalin hubungan yang lebih sesuai
antara individu dengan individu lain maupun dengan lingkungannya. Proses
ini membutuhkan keterbukaan masing-masing pihak sehingga terjadi
synergy serta saling menerima dan menghargai.
Sinergi merupakan
kombinasi atau kekuatan bersama dari kedua belah pihak suami-istri.
Sinergi adalah pusat dari kualitas relasi antara suami-istri, dan dari synergy
muncul kebersamaan, dan kebersamaan memunculkan proses saling memahami
lebih lanjut. Inti dari proses interaksi timbal balik adalah bagaimana
seorang suami dapat memahami perilaku, pikiran maupun perasaan istrinya,
dan demikian pula sebaliknya. Proses interaksi suami-istri hanya akan
berhenti ketika salah satu di antara mereka meninggalkan dunia fana.
Makna kualitas cinta
Ekspresi
cinta yang paling besar ditunjukkan oleh seorang ibu dalam proses
melahirkan anak yang dikandungnya. Dalam proses melahirkan, seorang ibu
mempertaruhkan jiwa dan raga demi anak yang hendak dilahirkannya. Orang
bijak mengatakan bahwa cinta yang paling besar ditunjukkan dengan
kesediaan seseorang untuk mempertaruhkan nyawa demi orang yang
dicintainya.
Cinta mengandung tiga unsur, yaitu keintiman,
gairah, dan tanggung jawab. Demikian pula setelah bayi lahir, sang ibu
menunjukkan cintanya dengan keintiman yang sangat kuat antara ibu dengan
sang bayi. Seorang ibu tidak dapat meninggalkan bayinya bagitu saja.
Meninggalkan sang bayi untuk dua jam sudah menimbulkan kegelisahan sang
ibu. Ibu merawat dengan penuh gairah serta tanggung jawab yang
ditunjukkan dengan kesediaan untuk memberikan waktu 24 jam penuh demi
sang bayi. Saat ibu memberikan ASI kepada sang bayi adalah ekspresi
keintiman yang paling dalam, di mana pada saat yang bersamaan detak
jantung sang ibu merupakan irama yang paling indah bagi sang bayi. Pada
saat memandikan, mengganti popok, menggendong maupun menuntun saat anak
mulai berjalan, ibu menunjukkan kegembiraannya. Terlebih-lebih ketika
melihat kemajuan perkembangan sang anak, ibu menunjukkan dan
menceritakan kepada orang lain dengan antusias. Pada saat anak sakit,
ibu memberikan waktu dan perhatian secara penuh, bahkan apabila
memungkinkan seakan-akan bersedia memberikan tubuhnya sendiri untuk
menderita sakit demi menggantikan sang anak.
Cinta pada anak
memang berbeda dengan cinta pada pasangan hidup. Namun sejalan dengan
hal tersebut di atas, pernyataan cinta yang muncul di antara pasangan
suami-istri sudah seharusnyalah dibuktikan dengan kesediaan
mempertaruhkan nyawa demi orang yang dicintainya. Secara substitutif
pernyataan cinta seorang suami/istri terhadap pasangannya harus
dibuktikan seumur hidup, dalam arti bahwa hingga salah seorang di antara
mereka meninggal dunia dan ternyata tidak terdapat kasus yang
“mencederai” ikrar cinta mereka, maka dapat dinyatakan bahwa cinta
mereka berkualitas.
Cinta selalu berorientasi pada orang yang
dicintai. Orang yang mencintai selalu berusaha memberikan yang terbaik
dengan kesungguhan serta ketulusan bagi orang yang dicintai. Segala
sesuatu diberikan kepada orang yang dicintai tanpa berharap mendapat
hasil balik dari orang yang dicintai. Kalaupun ada hasil balik dari
orang yang dicintai, hal itu sebagai konsekuensi logis dari interaksi di
antara kedua orang yang saling mencintai. Kedua belah pihak saling
berlomba memberikan yang terbaik bagi pasangannya.
Kembali pada
pasangan Kursus Persiapan Perkawinan yang menyatakan bahwa mereka telah
saling mengenal 100 persen. Dapat dinyatakan bahwa mereka cukup gegabah.
Mereka belum menikah, dan belum menjalani proses hidup bersama dalam
satu rumah tangga, lebih jauh lagi mereka belum berinteraksi secara
intensif. Ketika proses interaksi di antara mereka semakin intensif,
maka akan mereka sadari bahwa banyak hal yang belum mereka pahami satu
dengan yang lain, mulai dari hal-hal sepele sampai ke hal-hal prinsip.
Mereka mungkin tidak menyadari bahwa apa yang telah mereka lewati selama
ini adalah pertemuan-pertemuan yang terbatas, di mana pertemuan mereka
pun dipersiapkan dengan baik dan dikehendaki bersama. Dalam relasi
perkawinan pertemuan antara suami dan istri adalah pertemuan yang alami,
ada kemungkinan sifat-sifat asli yang selama masa pacaran dikendalikan
agar tidak muncul dari masing-masing pihak akan muncul ke luar. Mereka
akan menyadari bahwa mereka belum saling mengenal seutuhnya. Bahkan, dua
orang yang telah menikah selama lebih dari 40 tahun pun salah seorang
menyatakan bahwa dia belum mengenal pasangannya.
Sumber : HidupKatolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar