Minggu, 14 Oktober 2012

Kualitas Cinta


HIDUPKATOLIK.com - Dalam Kursus Persiapan Perkawinan di sebuah paroki, seorang tutor menanyakan kepada sepasang peserta kursus yang telah berpacaran selama sembilan tahun, seberapa jauh mereka telah saling kenal. Dengan yakin, mereka menjawab, 100 persen!

Peristiwa lain. Pada sebuah acara pemakaman seorang tokoh masyarakat, tampak seorang wanita pelayat. Wajahnya begitu berduka atas meninggalnya tokoh masyarakat tersebut. Wanita tersebut menggandeng seorang anak yang berusia sekitar 14 tahun. Pada waktu jenazah diberangkatkan ke makam, wanita itu jatuh pingsan. Peristiwa ini menimbulkan keributan tersendiri. Akhirnya, wanita tersebut diangkat dan dibawa masuk ke dalam rumah duka. Belakangan, diketahui oleh anggota keluarga yang berduka bahwa wanita itu ternyata istri kedua dari sang tokoh masyarakat. Malam harinya, seusai kenduri selamatan di mana seluruh anggota keluarga berkumpul, sang ibu yang sedang berduka, istri dari orang yang meninggal tersebut mengatakan kepada anak-anak serta seluruh anggota keluarga bahwa ia merasa tidak dicintai dan merasa belum mengenal suaminya, meskipun mereka telah menikah dan menjalani hidup rumah tangga hampir 40 tahun. Sebuah pernyataan yang kontradiktif, hidup sebagai istri selama 40 tahun namun merasa belum mengenal suaminya.

Dua kejadian tersebut adalah gambaran yang saling kontradiktif. Satu pasangan sedang berpacaran selama sembilan tahun namun masing-masing sudah merasa 100 persen mengenal pasangannya, sedang pasangan yang kedua sudah hidup bersama dalam rumah tangga selama hampir 40 tahun namun merasa belum mengenal pasangannya.

Pertanyaannya, pada pasangan yang berpacaran selama sembilan tahun, apakah benar mereka sudah saling kenal 100 persen? Mengapa pasangan yang lebih dari 40 tahun menikah merasa belum saling kenal?

Proses memahami
Setiap individu dalam kehidupannya selalu berubah dari hari ke hari, paling tidak berubah dalam hal usia secara kronologis. Dalam aspek yang lain mungkin juga berubah, namun secara umum ada pola yang dapat dikatakan sama, baik dalam cara berpikir, cara bersikap maupun cara berperilaku. Karena individu setiap hari mengalami perubahan, maka dikatakan setiap individu unik dan dinamis.

Keluarga terbentuk dari bersatunya dua pribadi yang berbeda. Secara pribadi mereka masing-masing adalah dinamis, persatuan dua pribadi yang berbeda dalam sebuah ikatan perkawinan tentu menimbulkan dinamika yang unik, di mana hanya dirasakan-dialami oleh mereka sendiri dan tidak sama dengan dinamika pasangan lain. Dalam proses ini diperlukan kesediaan untuk terbuka menerima pasangan hidup apa adanya dan juga kesediaan untuk selalu memberi yang terbaik bagi pasangan hidupnya. Mereka secara pribadi terus-menerus dalam kehidupan perkawinannya saling berinteraksi berkomunikasi satu dengan yang lain untuk berusaha saling memahami, dan hal inilah inti dari dinamika relasi kehidupan perkawinan.

Relasi untuk saling memahami antardua manusia dalam hidup perkawinan adalah proses timbal balik yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang yang bukan hanya melibatkan segi pikiran, namun melibatkan juga perasaan maupun perilaku kedua belah pihak. Orang menyebut proses tersebut sebagai proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri adalah proses dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjalin hubungan yang lebih sesuai antara individu dengan individu lain maupun dengan lingkungannya. Proses ini membutuhkan keterbukaan masing-masing pihak sehingga terjadi synergy serta saling menerima dan menghargai.

Sinergi merupakan kombinasi atau kekuatan bersama dari kedua belah pihak suami-istri. Sinergi adalah pusat dari kualitas relasi antara suami-istri, dan dari synergy muncul kebersamaan, dan kebersamaan memunculkan proses saling memahami lebih lanjut. Inti dari proses interaksi timbal balik adalah bagaimana seorang suami dapat memahami perilaku, pikiran maupun perasaan istrinya, dan demikian pula sebaliknya. Proses interaksi suami-istri hanya akan berhenti ketika salah satu di antara mereka meninggalkan dunia fana.

Makna kualitas cinta
Ekspresi cinta yang paling besar ditunjukkan oleh seorang ibu dalam proses melahirkan anak yang dikandungnya. Dalam proses melahirkan, seorang ibu mempertaruhkan jiwa dan raga demi anak yang hendak dilahirkannya. Orang bijak mengatakan bahwa cinta yang paling besar ditunjukkan dengan kesediaan seseorang untuk mempertaruhkan nyawa demi orang yang dicintainya.

Cinta mengandung tiga unsur, yaitu keintiman, gairah, dan tanggung jawab. Demikian pula setelah bayi lahir, sang ibu menunjukkan cintanya dengan keintiman yang sangat kuat antara ibu dengan sang bayi. Seorang ibu tidak dapat meninggalkan bayinya bagitu saja. Meninggalkan sang bayi untuk dua jam sudah menimbulkan kegelisahan sang ibu. Ibu merawat dengan penuh gairah serta tanggung jawab yang ditunjukkan dengan kesediaan untuk memberikan waktu 24 jam penuh demi sang bayi. Saat ibu memberikan ASI kepada sang bayi adalah ekspresi keintiman yang paling dalam, di mana pada saat yang bersamaan detak jantung sang ibu merupakan irama yang paling indah bagi sang bayi. Pada saat memandikan, mengganti popok, menggendong maupun menuntun saat anak mulai berjalan, ibu menunjukkan kegembiraannya. Terlebih-lebih ketika melihat kemajuan perkembangan sang anak, ibu menunjukkan dan menceritakan kepada orang lain dengan antusias. Pada saat anak sakit, ibu memberikan waktu dan perhatian secara penuh, bahkan apabila memungkinkan seakan-akan bersedia memberikan tubuhnya sendiri untuk menderita sakit demi menggantikan sang anak.

Cinta pada anak memang berbeda dengan cinta pada pasangan hidup. Namun sejalan dengan hal tersebut di atas, pernyataan cinta yang muncul di antara pasangan suami-istri sudah seharusnyalah dibuktikan dengan kesediaan mempertaruhkan nyawa demi orang yang dicintainya. Secara substitutif pernyataan cinta seorang suami/istri terhadap pasangannya harus dibuktikan seumur hidup, dalam arti bahwa hingga salah seorang di antara mereka meninggal dunia dan ternyata tidak terdapat kasus yang “mencederai” ikrar cinta mereka, maka dapat dinyatakan bahwa cinta mereka berkualitas.

Cinta selalu berorientasi pada orang yang dicintai. Orang yang mencintai selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan kesungguhan serta ketulusan bagi orang yang dicintai. Segala sesuatu diberikan kepada orang yang dicintai tanpa berharap mendapat hasil balik dari orang yang dicintai. Kalaupun ada hasil balik dari orang yang dicintai, hal itu sebagai konsekuensi logis dari interaksi di antara kedua orang yang saling mencintai. Kedua belah pihak saling berlomba memberikan yang terbaik bagi pasangannya.

Kembali pada pasangan Kursus Persiapan Perkawinan yang menyatakan bahwa mereka telah saling mengenal 100 persen. Dapat dinyatakan bahwa mereka cukup gegabah. Mereka belum menikah, dan belum menjalani proses hidup bersama dalam satu rumah tangga, lebih jauh lagi mereka belum berinteraksi secara intensif. Ketika proses interaksi di antara mereka semakin intensif, maka akan mereka sadari bahwa banyak hal yang belum mereka pahami satu dengan yang lain, mulai dari hal-hal sepele sampai ke hal-hal prinsip. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa apa yang telah mereka lewati selama ini adalah pertemuan-pertemuan yang terbatas, di mana pertemuan mereka pun dipersiapkan dengan baik dan dikehendaki bersama. Dalam relasi perkawinan pertemuan antara suami dan istri adalah pertemuan yang alami, ada kemungkinan sifat-sifat asli yang selama masa pacaran dikendalikan agar tidak muncul dari masing-masing pihak akan muncul ke luar. Mereka akan menyadari bahwa mereka belum saling mengenal seutuhnya. Bahkan, dua orang yang telah menikah selama lebih dari 40 tahun pun salah seorang menyatakan bahwa dia belum mengenal pasangannya.


Sumber : HidupKatolik



Tidak ada komentar:

Posting Komentar