Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari
Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To
Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau
pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya
adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa
kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar),
artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut
menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman
suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Pariwisata di Tana Toraja mulai berkembang pada tahun 1970-an, setelah National Geographic menyiarkan liputan pemakaman Puang Sangalla dari Sangalla tahun 1972. Semenjak itu wisata di Toraja terus berkembang pesat, hingga mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1980an – 1990an.
Pada akhir 1990an, wisata di Tana Toraja mulai meredup seiring dengan adanya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi beberapa daerah di Indonesia, terutama di Poso, pada Desember 1998, April 2000, dan Mei-Juni 2000. Kini pariwisata di Toraja mulai bangkit lagi, meskipun masih jauh jika dibandingkan dengan masa kejayaan di tahun 1980an.
Ada apa sih sebenernya di Toraja sehingga sangat menarik para wisatawan?
Kata Tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk.
Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan
perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak
bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga
atau marga suku Tana Toraja.
Tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta
pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator,
motivator, dan stabilator sosial.
Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat
di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial
keagamaan.
Ada juga Tongkonan Pekaindoran, Pekamberan, atau Kaparengngesan,
yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur
pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’aluk.
Sementara itu, batu a’riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang.
Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga
serta membina warisan tongkona
Situs pemakaman di Tana Toraja, tersebar hampir di
banyak tempat. Dan lokasi-lokasi pemakaman tersebut masih digunakan
sampai sekarang. Ada beberapa jenis pemakaman. Ada yang berupa goa alam, bukit yang
dipahat, batu yang dilubangi, maupun pohon untuk pemakaman bayi. Ada
juga makam buatan yang disebut sebagai Patane. Makam-makam tersebut
beberapa dilengkapi dengan Tau Tau, yaitu tiruan orang yang sudah
meninggal.
(RAMBU SOLO`)
RAMBU SOLO’ adalah: adat warisan nenek moyang yang patut kita jaga
dan lestarikan dengan tidak `harus` membebani diri,rambu solo, merupakan
upacara ritual kematian yang membutuhkan dana yang sangat besar,
bahkan ratusan juta. Bagi suku Toraja(sulawesi selatan,indonesia), Rambu
Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta.
Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat
Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka
MA’BADONG
Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja.
Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria,
baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. Para penari
(pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari
kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai
gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu
para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan
perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam.
Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari
terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong
melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai
wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma'badong ini kadang
menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam
sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka. (Sumber
Wikipedia). Suasana malam menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan
syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini
berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar
arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka.
The Communal Chant (nyanyian komunal atau
berjemaat,kelompok) karena dimana sang Indo' Badong yaitu Pemandu syair
dan lagu dalam nyanyian Kadong Badong, memberikan kalimat-kalimat syair
dan modus nada untuk dinyanyikan kepada semua kelompok penari yang biasa
dinyanyikan secara berkelompok sambil berbalas-balasan. Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan
lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan
kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau
syair tersebut disebut “BATING” . Bating ini di suarakan oleh Indo’
badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap
syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.
Ritme
dari permainan alat musik pukul akustik dituangkan di dalam kolaborasi
nyanyian kadong badong ini, walaupun harus melakukan beat mapping
(pemetaan ketukan) agar tidak lari dari tempo yang telah ditentukan.
Dengan hanya memberikan 6 modus akord yang dimulai dengan nada A tanpa
pengesetan tuning sedikitpun, ternyata nyanyian Kadong Badong ini juga
selaras dan sangat harmonis jika diberikan musik.Penggunaan alat musik
elektrik yaitu syntheizer dan komputer juga tidak luput dari proses
pembuatan musik ini.
Tarian bergantian, sambung menyambung di pelataran Tongkonan tempat
ritual digelar. Lama tarian ma’badong ini biasanya menelan waktu
berjam-jam, semalam suntuk, bahkan terkadang berlangsung sampai tiga
hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.
Orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan
tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu
menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta
dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap
ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.
Namun, masih ada sebagian orang Toraja
masih menganggap sebagai kebiasaan yang tabu,pamali atau pantang jika
mendengar dan memutar nyanyian kadong badong pada saat tidak diadakannya
acara kematian atau kedukaan hal ini dikarenakan mereka masih
mempercayai adanya mitos atau tabiat buruk akan adanya bencana jika
menyanyikannya lantaran kesenian ini sering dipagelarkan pada saat acara
kedukaan atau kematian jadi sesuatu hal yang selalu disebut dan
dikait-kaitkan dengan kematian, dan ada juga sugesti turun temurun dari
sanak keluarganya. Padahal kalau disimak dengan baik, warna keindahan
dan keunikan serta keharmonisan nyanyian di dalamnya sebenarnya bisa
diubah dan dialih fungsikan,jika syairnya yang semula berisi ungkapan
sedih dan rintihan dapat diganti kepada pemujaan Sang Pencipta, sebagai
bukti yang nyata sekarang sudah banyak para pencipta lagu etnik Toraja
di kalangan Gereja Toraja sudah mulai memasukan modus-modus nada semacam
ini kedalam karya ciptanya.
Mapasilaga
Salah
satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adat Mapasilaga Tedong
atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan.
Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi
kerbau aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja.
Selain itu, ada juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di
punggung dan Lontong Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir
ini adalah yang paling mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta
rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam
Mapasilaga Tedong ini.
Sebelum upacara adat berlangsung, puluhan kerbau yang akan diadu
dibariskan di lokasi upacara. Kerbau-kerbau tersebut kemudian diarak
dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan
sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di
rante (pemakaman). Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik
pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari
sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang
sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak),
kepada pemandu kerbau dan para tamu. Adu kerbau kemudian dilakukan di
sawah, dimulai dengan adu kerbau bule. Adu kerbau diselingi dengan
prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas
kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.
Kerbau adalah hewan yang dianggap suci oleh suku Toraja. Kegiatan
budaya ini biasanya ditampilkan saat Upacara Adat Rambu Solo, upacara
pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi
kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut
dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini
menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat
istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau
megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang
berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.
Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat
mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir
ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau
dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.
MITOS
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara
lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk
turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa Toraja).
Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki
oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di
sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di
Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah
ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau
corak di peralatan rumah tangga.
Di Ke’te’ Kesu’, ada sebuah workshop sederhana lokasi pembuatan
ukir-ukiran khas Toraja. Lokasi workshop ini berada di deretan ujung
Tongkonan paling belakang, yang terjauh dari pintu kedatangan. Di
workshop ini, aneka macam ukir-ukiran digantung di dinding sementara itu
seorang bapak dengan putranya sibuk mengukir sebuah papan dengan motif
tertentu. Papan yang digunakan memang khusus. Melihat mereka mencungkil
dan menggurat papan tersebut terlihat menyenangkan dan membuat ingin mencobanya. Padahal, papan tersebut lumayan keras loch. Namun, melihat mereka seakan-akan menggurat permukaan kue atau lilin saja.
Begitu empuknya.
Toraja primadonna pariwisata Sulawesi Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar