Minggu, 07 Oktober 2012

Menarik Mengunjungi Toraja

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).

Pariwisata di Tana Toraja mulai berkembang pada tahun 1970-an, setelah National Geographic menyiarkan liputan pemakaman Puang Sangalla dari Sangalla tahun 1972. Semenjak itu wisata di Toraja terus berkembang pesat, hingga mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1980an – 1990an.

Pada akhir 1990an, wisata di Tana Toraja mulai meredup seiring dengan adanya kerusuhan-kerusuhan yang terjadi beberapa daerah di Indonesia, terutama di Poso, pada Desember 1998, April 2000, dan Mei-Juni 2000. Kini pariwisata di Toraja mulai bangkit lagi, meskipun masih jauh jika dibandingkan dengan masa kejayaan di tahun 1980an.

Ada apa sih sebenernya di Toraja sehingga sangat menarik para wisatawan?

RUMAH ADAT ORANG TORAJA

Kata Tongkonan berasal dari tongkon, yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan melainkan turun temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.

Tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga serta pembinaan peraturan keluarga dan kegotong royongan, pusat dinamisator, motivator, dan stabilator sosial.

Tongkonan mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Dikenal beberapa jenis, antara lain Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’aluk, yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Ada juga Tongkonan Pekaindoran, Pekamberan, atau Kaparengngesan, yaitu tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’aluk. Sementara itu, batu a’riri berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkona

Situs Pemakaman
Situs pemakaman di Tana Toraja, tersebar hampir di banyak tempat. Dan lokasi-lokasi pemakaman tersebut masih digunakan sampai sekarang. Ada beberapa jenis pemakaman. Ada yang berupa goa alam, bukit yang dipahat, batu yang dilubangi, maupun pohon untuk pemakaman bayi. Ada juga makam buatan yang disebut sebagai Patane. Makam-makam tersebut beberapa dilengkapi dengan Tau Tau, yaitu tiruan orang yang sudah meninggal.

RITUAL KEMATIAN MASYARAKAT TORAJA

(RAMBU SOLO`)
RAMBU SOLO’ adalah: adat warisan nenek moyang yang patut kita jaga dan lestarikan dengan tidak `harus` membebani diri,rambu solo, merupakan upacara ritual kematian yang membutuhkan dana yang sangat besar, bahkan ratusan juta. Bagi suku Toraja(sulawesi selatan,indonesia), Rambu Solo` adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka 


MA’BADONG
Ma’badong merupakan tarian kedukaan yang diadakan dalam upacara ritual kematian masyarakat Tanah Toraja.

Tarian ini dilakukan secara berkelompok pada umumnya oleh kaum pria, baik muda atau pun tua, namun wanita juga tidak dilarang. Para penari (pa’badong) membentuk sebuah lingkaran dan saling mengaitkan jari kelingking sambil melantunkan syair dan nyanyian ratapan disertai gerakan tangan dan langkah kaki yang disesuaikan dengan irama lagu. Dulu para ma’badong mengenakan kostum serba hitam namun seiring dengan perkembangan zaman, kostum yang dipakai tidak lagi berwarna hitam.

Penari ma’badong bergerak dengan gerakan langkah yang silih berganti. Penari melingkar dan saling mengaitkan jari-jari kelingking. Penari terdiri dari pria dan wanita setengah baya atau tua. Pa'badong melantunkan syair (Kadong Badong) riwayat hidup, sejak lahir sampai wafat dari orang yang meninggal dunia. Tarian Ma'badong ini kadang menelan waktu berjam-jam, malah berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka. (Sumber Wikipedia). Suasana malam menjadi tambah sakral ketika para penari melantunkan syair atau lagu kesedihan (Kadong Badong). Lantunan syair ma’badong ini berisikan riwayat manusia mulai dari lahir hingga mati dan do’a, agar arwah si mati diterima di negeri arwah (Puya) atau alam di alam baka.
  
The Communal Chant (nyanyian komunal atau berjemaat,kelompok) karena dimana sang Indo' Badong yaitu Pemandu syair dan lagu dalam nyanyian Kadong Badong, memberikan kalimat-kalimat syair dan modus nada untuk dinyanyikan kepada semua kelompok penari yang biasa dinyanyikan secara berkelompok sambil berbalas-balasan. Lagu dilantunkan oleh si penari ini tidak menggunakan not. Syair dan lagu berisikan semacam catatan sejarah tentang keluhuran budi dan kebesaran jasa tokoh yang telah meninggal dunia tersebut. Lagu atau syair tersebut disebut “BATING” . Bating ini di suarakan oleh Indo’ badong yang mana Indo’ badong tersebut bertugas untuk mengatur setiap syair yang dilantunkan dan bentuk iramanya.

Ritme dari permainan alat musik pukul akustik dituangkan di dalam kolaborasi nyanyian kadong badong ini, walaupun harus melakukan beat mapping (pemetaan ketukan) agar tidak lari dari tempo yang telah ditentukan. Dengan hanya memberikan 6 modus akord yang dimulai dengan nada A tanpa pengesetan tuning sedikitpun, ternyata nyanyian Kadong Badong ini juga selaras dan sangat harmonis jika diberikan musik.Penggunaan alat musik elektrik yaitu syntheizer dan komputer juga tidak luput dari proses pembuatan musik ini.

Tarian bergantian, sambung menyambung di pelataran Tongkonan tempat ritual digelar. Lama tarian ma’badong ini biasanya menelan waktu berjam-jam, semalam suntuk, bahkan terkadang berlangsung sampai tiga hari tiga malam sambung-menyambung di pelataran tempat upacara berduka.

Orang Toraja meyakini, seorang bangsawan akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam strata sosial masyarakat. Mereka selalu menjunjung tinggi orang yang berstatus bangsawan untuk dihormati serta dicintai layaknya seorang raja. Pandangan semacam inilah yang acap ditemui di dalam masyarakat adat Toraja hingga sekarang.

Namun, masih ada sebagian orang Toraja masih menganggap sebagai kebiasaan yang tabu,pamali atau pantang jika mendengar dan memutar nyanyian kadong badong pada saat tidak diadakannya acara kematian atau kedukaan hal ini dikarenakan mereka masih mempercayai adanya mitos atau tabiat buruk akan adanya bencana jika menyanyikannya lantaran kesenian ini sering dipagelarkan pada saat acara kedukaan atau kematian jadi sesuatu hal yang selalu disebut dan dikait-kaitkan dengan kematian, dan ada juga sugesti turun temurun dari sanak keluarganya. Padahal kalau disimak dengan baik, warna keindahan dan keunikan serta keharmonisan nyanyian di dalamnya sebenarnya bisa diubah dan dialih fungsikan,jika syairnya yang semula berisi ungkapan sedih dan rintihan dapat diganti kepada pemujaan Sang Pencipta, sebagai bukti yang nyata sekarang sudah banyak para pencipta lagu etnik Toraja di kalangan Gereja Toraja sudah mulai memasukan modus-modus nada semacam ini kedalam karya ciptanya.






Mapasilaga

Salah satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adat Mapasilaga Tedong atau adu kerbau. Kerbau yang diadu di sini bukanlah kerbau sembarangan. Biasanya, kerbau bule (Tedong Bunga) atau kerbau albino yang menjadi kerbau aduan. Kerbau yang termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) tersebut merupakan spesies kerbau yang hanya ditemukan di Tana Toraja. Selain itu, ada juga kerbau Salepo yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung dan Lontong Boke yang berpunggung hitam. Jenis kerbau terakhir ini adalah yang paling mahal dengan bandrol mencapai ratusan juta rupiah. Kerbau jantan yang sudah dikebiri juga bisa diikutsertakan dalam Mapasilaga Tedong ini.

Sebelum upacara adat berlangsung, puluhan kerbau yang akan diadu dibariskan di lokasi upacara. Kerbau-kerbau tersebut kemudian diarak dengan didahului oleh tim pengusung gong, pembawa umbul-umbul, dan sejumlah wanita dari keluarga yang berduka ke lapangan yang berlokasi di rante (pemakaman). Saat barisan kerbau meninggalkan lokasi, musik pengiring akan dimainkan. Irama musik tradisional tersebut berasal dari sejumlah wanita yang menumbuk padi pada lesung secara bergantian.

Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak), kepada pemandu kerbau dan para tamu. Adu kerbau kemudian dilakukan di sawah, dimulai dengan adu kerbau bule. Adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro Tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.

Kerbau adalah hewan yang dianggap suci oleh suku Toraja. Kegiatan budaya ini biasanya ditampilkan saat Upacara Adat Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, orang Toraja memang mewarisi kebudayaan megalit atau zaman batu. Pewarisan nilai sejarah tersebut dapat terlihat di dalam setiap upacara pemakaman para bangsawan. Ini menandakan tradisi kebudayaan purbakala memang melekat erat dalam adat istiadat masyarakat Tana Toraja. Peninggalan masa megalit atau megalitikum. Tengok saja batu-batu menhir setinggi tiga meter yang berada di sana. Orang Toraja menyebutnya sebagai simbuang batu.


Dalam ritual pemakaman, simbuang batu berfungsi sebagai tempat mengikat kerbau yang akan dikurbankan dalam upacara. Konon, batu menhir ini ditancapkan pertama kali tahun 1657. Ketika itu ratusan ekor kerbau dikurbankan untuk upacara pemakaman Dinasti Rante Kalimbuang.

MITOS
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa – dalam bahasa Toraja).

Ukiran Toraja adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja. Ukiran ini biasanya dapat dengan mudah ditemukan di sekujur bagian Tongkonan, baik rumah ataupun lumbung padi, serta di Erong. Ukiran lainnya yang dapat dengan mudah anda temukan adalah ukir-ukiran yang dibuat menjadi hiasan dinding untuk oleh-oleh atau corak di peralatan rumah tangga.

Di Ke’te’ Kesu’, ada sebuah workshop sederhana lokasi pembuatan ukir-ukiran khas Toraja. Lokasi workshop ini berada di deretan ujung Tongkonan paling belakang, yang terjauh dari pintu kedatangan. Di workshop ini, aneka macam ukir-ukiran digantung di dinding sementara itu seorang bapak dengan putranya sibuk mengukir sebuah papan dengan motif tertentu. Papan yang digunakan memang khusus. Melihat mereka mencungkil dan menggurat papan tersebut terlihat menyenangkan dan membuat ingin mencobanya. Padahal, papan tersebut lumayan keras loch. Namun, melihat mereka seakan-akan menggurat permukaan kue atau lilin saja. Begitu empuknya.

Toraja  primadonna pariwisata Sulawesi Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar