Tionghoa Makassar adalah komunitas masyarakat yang telah turut membangun kebudayaan di Kota Makassar sejak dari masa lalu. Hal ini terbukti dengan lahirnya karya-karya sastra yang bermutu tinggi dari kalangan mereka.
Pada dekade 1930-an hingga 1960-an nama Ho Eng Dji sangat terkenal. Ia lebih banyak dikenal sebagai musisi yang melahirkan lagu-lagu Makassar yang populer hingga saat ini. Hanya sedikit orang yang tahu kalau Ho Eng Dji juga banyak menulis syair-syair dalam bahasa Makassar. Syair-syair itu disimpannya dalam sebuah kotak kayu, kemudian pada tahun 1950 ditemukan oleh Njoo Cheng Seng yang lalu menjadikannya sebagai ilustrasi cerita Roman Tjilik-nya. Cerita ini terbit dua kali dalam sebulan pada saat itu, di Jakarta. Roman Tjilik menggunakan bahasa Indonesia, dan syair- syair Ho Eng Dji ditulis dalam bahasa Makassar dengan terjemahan Njoo Cheng Seng ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak kurang dari seratus syair yang dimuat dalam kurang lebih tujuh buah Roman Tjilik yang berbau romantis dan sentimentil, juga tragedi. Roman Tjilik Njoo Cheng Seng tersebut, antara lain berjudul Manusia Sempurna dalam Manusia Tidak Sempurna Ho Eng Dji, Sio Sayang, Asep Hio dari Malino, Gagak Lokra Mencari Allah.
Karya-karya Ho Eng Dji lebih menonjolkan pandangan filosofisnya terhadap kehidupan yang diwarnai semangat eksistensialisme. Ia menyajikan banyak kekalahan awal manusia dalam melawan kehidupan yang keras dan memandang kematian sebagai akhir dari segala penderitaan. Kematian sebagai akhir bukan sesuatu yang kosong, tetapi sebuah wilayah untuk menuai hasil dari kehidupan yang kadang begitu menekan. Kematian adalah sekutu kehidupan, kemalangan menjadi pintu kebahagiaan yang hakiki.
Selain Ho Eng Dji yang banyak menulis syair, dikenal juga Ang Bang Tjiong yang menulis sejumlah bait sastra Melayu/Indonesia-Makassar. Dalam khazanah sastra Melayu maupun Makassar tentu sangat sulit menemukan syair yang sepadan dengan apa yang telah ditulis oleh Ang Ban Tjiong di era tahun 1930-an.
Ketika itu di Makassar masyarakat sangat terpikat oleh pantun-pantun yang berbahasa Melayu meskipun mungkin ada hambatan linguistik bagi masyarakat Makassar yang akrab dengan bahasa daerahnya. Melihat gejala tersebut Ang Ban Tjiong menunjukkan jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun yang menggunakan bahasa Melayu dan Makassar. Pantun tersebut sangat dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu (dialek Jakarta), tetapi sang penyair memasukkan pula bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Hal ini diakui oleh Ang Ban Tjiong dalam pengantar buku pantunnya yang berjudul Pantoen Melayoe-Makassar sebagai sesuatu yang disengaja untuk dapat menyaingi pantun Melayu.
Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait/kuplet tersebut memiliki nilai estetika tersendiri jika dibandingkan dengan pantun yang berbahasa Melayu. Ang Ban Tjiong tidak hanya berupaya menciptakan persajakan berdasarkan bahasa Melayu, tetapi juga lebih menyesuaikannya dengan diksi bahasa Makassar dan makna yang ingin ditandainya.
Ang Ban Tjiong bersusah payah dalam memilih kata Melayu dan menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi bait. Ia tidak hanya membuat persajakan aaaa agar yang dipilihnya dapat menyatu dengan pilihan kata Melayu yang digunakan pada setiap awal baris, melainkan setiap rangkaian kata dalam satu larik tersebut menciptakan nada yang harmonis dan bermakna.
Pantun Ang Ban Tjiong ini sangat menarik dan ia menggunakannya sebagai media berceritera. Antara satu bait dengan bait lainnya terdapat hubungan erat yang saling sambung menjadi pantun berkait, seperti bait-bait berikut ini:
Enak rasanya rappo kadalle (buah kedele)
Didjoeal moerah djai taralle (banyak terbeli)
Soenggoe nona angerang dalle, (membawa rezeki)
Harep dateng a’mole-mole. (berkali-kali)
Pait rasanya dje’ne pa’balle, (cairan obat)
Tidak melawan ang-nginung sale (minum sale)
Harep dateng a’mole-mole, (berkali- kali)
Djikaloe bisa sabole-bole. (bersama-sama)
Syair-syair Ang Bang Tjiong juga berkisah tentang gadis cantik dan materi (uang). Dalam salah satu pantunnya dikisahkan tentang seorang pemuda yang jatuh cinta. Namun, Ang Ban Tjiong menciptakan konflik antara gadis cantik dengan uang, harta benda, kekayaan, dan kedudukan sosial. Ia menyadari bahwa kecantikan fisik dan harta benda (uang) tidak akan berarti jika tidak disertai dengan budi yang baik, dan rasa cinta, kasih sayang dengan sesama.
Selain tema cinta dan uang itu, ia juga menulis tema kehidupan dan selebihnya nasihat-nasihat serta buah pikiran. Dalam pantun tersebut sekaligus tercerminkan kondisi sosial masyarakat China peranakan yang hidup lebih sederhana.
SELAIN karya-karya asli dalam sastra puisi, syair lagu, pantun dan novel yang ditulis oleh orang Tionghoa, terdapat juga karya-karya terjemahan dalam jumlah yang cukup banyak, yang dibuat oleh Liem Kheng Yong. Lelaki China peranakan Makassar ini pada tahun 1930-an telah menerjemahkan tidak kurang dari 60 judul cerita klasik China ke dalam bahasa Makassar dan disalin dengan aksara lontaraq. Hasil terjemahan tersebut kemudian disusun dalam bentuk buku menjadi kurang lebih 2000 jilid. Setiap jilid dibuat dengan ketebalan tidak kurang dari 80 halaman dengan ukuran kertas 23 x 12,5 cm dan blok naskah 17 x 9 cm. Setiap halaman terdiri atas 3 hingga 14 baris.
Cerita-cerita yang diterjemahkan, antara lain Samkok (150 jilid), Sam Po Khong (79 jilid), Hong Sing (77 jilid), See Yoe (74 jilid), Song Kang (69 Jilid), Lie Eng Tjhoen (24 jilid), Pak Bie Too (20 jilid). Buku cerita tersebut dibuat seperti novel bersambung dan dipersewakan bagi mereka yang ingin membacanya.
Apa yang dilakukan oleh Liem Kheng Yong adalah sesuatu yang sangat luar biasa karena beberapa hal. Pertama, ketekunannya menerjemahkan dan menyalin ulang sejumlah cerita tersebut, yang tentu saja memakan waktu yang cukup lama. Kedua, fanatisme dan idealisme Liem Kheng terhadap bahasa Makassar dan terhadap aksara lontaraq. Sastrawan China peranakan ini pasti sudah sangat akrab dengan lingkungan dan masyarakat Makassar sehingga ia menguasai dengan begitu baik bahasa Makassar, baik secara lisan maupun tulisan.
Menerjemahkan sebuah cerita tentu saja tidak hanya melakukan alih bahasa, tetapi pertimbangan soal pengalihan sistem tanda dari satu bahasa ke bahasa sasaran dengan kandungan makna atau pengertian yang persis sama dengan maksud bahasa sumbernya. Tentunya hal ini tidaklah mudah. Penguasaan terhadap kedua bahasa tersebut paling tidak harus sama baiknya.
Liem Kheng Yong memindahkan tradisi menulis aksara China yang diwariskan oleh orangtuanya untuk menyalin atau menulis dalam aksara lontaraq. Namun, tradisi penulisan aksara China masih juga digunakannya dalam menuliskan aksara lontaraq. Kita tahu, orang China menulis dengan menggunakan kuas tulis dan tinta. Hal ini juga dilakukan Liem Kheng Yong dalam menuliskan aksara lontaraq yang biasanya menggunakan pena atau kallang (kalam). Meskipun demikian, tulisan lontaraq Liem Kheng Yong sangat terbaca dengan baik.
Pada dekade 1930-an hingga 1960-an nama Ho Eng Dji sangat terkenal. Ia lebih banyak dikenal sebagai musisi yang melahirkan lagu-lagu Makassar yang populer hingga saat ini. Hanya sedikit orang yang tahu kalau Ho Eng Dji juga banyak menulis syair-syair dalam bahasa Makassar. Syair-syair itu disimpannya dalam sebuah kotak kayu, kemudian pada tahun 1950 ditemukan oleh Njoo Cheng Seng yang lalu menjadikannya sebagai ilustrasi cerita Roman Tjilik-nya. Cerita ini terbit dua kali dalam sebulan pada saat itu, di Jakarta. Roman Tjilik menggunakan bahasa Indonesia, dan syair- syair Ho Eng Dji ditulis dalam bahasa Makassar dengan terjemahan Njoo Cheng Seng ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak kurang dari seratus syair yang dimuat dalam kurang lebih tujuh buah Roman Tjilik yang berbau romantis dan sentimentil, juga tragedi. Roman Tjilik Njoo Cheng Seng tersebut, antara lain berjudul Manusia Sempurna dalam Manusia Tidak Sempurna Ho Eng Dji, Sio Sayang, Asep Hio dari Malino, Gagak Lokra Mencari Allah.
Karya-karya Ho Eng Dji lebih menonjolkan pandangan filosofisnya terhadap kehidupan yang diwarnai semangat eksistensialisme. Ia menyajikan banyak kekalahan awal manusia dalam melawan kehidupan yang keras dan memandang kematian sebagai akhir dari segala penderitaan. Kematian sebagai akhir bukan sesuatu yang kosong, tetapi sebuah wilayah untuk menuai hasil dari kehidupan yang kadang begitu menekan. Kematian adalah sekutu kehidupan, kemalangan menjadi pintu kebahagiaan yang hakiki.
Selain Ho Eng Dji yang banyak menulis syair, dikenal juga Ang Bang Tjiong yang menulis sejumlah bait sastra Melayu/Indonesia-Makassar. Dalam khazanah sastra Melayu maupun Makassar tentu sangat sulit menemukan syair yang sepadan dengan apa yang telah ditulis oleh Ang Ban Tjiong di era tahun 1930-an.
Ketika itu di Makassar masyarakat sangat terpikat oleh pantun-pantun yang berbahasa Melayu meskipun mungkin ada hambatan linguistik bagi masyarakat Makassar yang akrab dengan bahasa daerahnya. Melihat gejala tersebut Ang Ban Tjiong menunjukkan jalan keluar dengan menciptakan pantun-pantun yang menggunakan bahasa Melayu dan Makassar. Pantun tersebut sangat dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu (dialek Jakarta), tetapi sang penyair memasukkan pula bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Hal ini diakui oleh Ang Ban Tjiong dalam pengantar buku pantunnya yang berjudul Pantoen Melayoe-Makassar sebagai sesuatu yang disengaja untuk dapat menyaingi pantun Melayu.
Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait/kuplet tersebut memiliki nilai estetika tersendiri jika dibandingkan dengan pantun yang berbahasa Melayu. Ang Ban Tjiong tidak hanya berupaya menciptakan persajakan berdasarkan bahasa Melayu, tetapi juga lebih menyesuaikannya dengan diksi bahasa Makassar dan makna yang ingin ditandainya.
Ang Ban Tjiong bersusah payah dalam memilih kata Melayu dan menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi bait. Ia tidak hanya membuat persajakan aaaa agar yang dipilihnya dapat menyatu dengan pilihan kata Melayu yang digunakan pada setiap awal baris, melainkan setiap rangkaian kata dalam satu larik tersebut menciptakan nada yang harmonis dan bermakna.
Pantun Ang Ban Tjiong ini sangat menarik dan ia menggunakannya sebagai media berceritera. Antara satu bait dengan bait lainnya terdapat hubungan erat yang saling sambung menjadi pantun berkait, seperti bait-bait berikut ini:
Enak rasanya rappo kadalle (buah kedele)
Didjoeal moerah djai taralle (banyak terbeli)
Soenggoe nona angerang dalle, (membawa rezeki)
Harep dateng a’mole-mole. (berkali-kali)
Pait rasanya dje’ne pa’balle, (cairan obat)
Tidak melawan ang-nginung sale (minum sale)
Harep dateng a’mole-mole, (berkali- kali)
Djikaloe bisa sabole-bole. (bersama-sama)
Syair-syair Ang Bang Tjiong juga berkisah tentang gadis cantik dan materi (uang). Dalam salah satu pantunnya dikisahkan tentang seorang pemuda yang jatuh cinta. Namun, Ang Ban Tjiong menciptakan konflik antara gadis cantik dengan uang, harta benda, kekayaan, dan kedudukan sosial. Ia menyadari bahwa kecantikan fisik dan harta benda (uang) tidak akan berarti jika tidak disertai dengan budi yang baik, dan rasa cinta, kasih sayang dengan sesama.
Selain tema cinta dan uang itu, ia juga menulis tema kehidupan dan selebihnya nasihat-nasihat serta buah pikiran. Dalam pantun tersebut sekaligus tercerminkan kondisi sosial masyarakat China peranakan yang hidup lebih sederhana.
SELAIN karya-karya asli dalam sastra puisi, syair lagu, pantun dan novel yang ditulis oleh orang Tionghoa, terdapat juga karya-karya terjemahan dalam jumlah yang cukup banyak, yang dibuat oleh Liem Kheng Yong. Lelaki China peranakan Makassar ini pada tahun 1930-an telah menerjemahkan tidak kurang dari 60 judul cerita klasik China ke dalam bahasa Makassar dan disalin dengan aksara lontaraq. Hasil terjemahan tersebut kemudian disusun dalam bentuk buku menjadi kurang lebih 2000 jilid. Setiap jilid dibuat dengan ketebalan tidak kurang dari 80 halaman dengan ukuran kertas 23 x 12,5 cm dan blok naskah 17 x 9 cm. Setiap halaman terdiri atas 3 hingga 14 baris.
Cerita-cerita yang diterjemahkan, antara lain Samkok (150 jilid), Sam Po Khong (79 jilid), Hong Sing (77 jilid), See Yoe (74 jilid), Song Kang (69 Jilid), Lie Eng Tjhoen (24 jilid), Pak Bie Too (20 jilid). Buku cerita tersebut dibuat seperti novel bersambung dan dipersewakan bagi mereka yang ingin membacanya.
Apa yang dilakukan oleh Liem Kheng Yong adalah sesuatu yang sangat luar biasa karena beberapa hal. Pertama, ketekunannya menerjemahkan dan menyalin ulang sejumlah cerita tersebut, yang tentu saja memakan waktu yang cukup lama. Kedua, fanatisme dan idealisme Liem Kheng terhadap bahasa Makassar dan terhadap aksara lontaraq. Sastrawan China peranakan ini pasti sudah sangat akrab dengan lingkungan dan masyarakat Makassar sehingga ia menguasai dengan begitu baik bahasa Makassar, baik secara lisan maupun tulisan.
Menerjemahkan sebuah cerita tentu saja tidak hanya melakukan alih bahasa, tetapi pertimbangan soal pengalihan sistem tanda dari satu bahasa ke bahasa sasaran dengan kandungan makna atau pengertian yang persis sama dengan maksud bahasa sumbernya. Tentunya hal ini tidaklah mudah. Penguasaan terhadap kedua bahasa tersebut paling tidak harus sama baiknya.
Liem Kheng Yong memindahkan tradisi menulis aksara China yang diwariskan oleh orangtuanya untuk menyalin atau menulis dalam aksara lontaraq. Namun, tradisi penulisan aksara China masih juga digunakannya dalam menuliskan aksara lontaraq. Kita tahu, orang China menulis dengan menggunakan kuas tulis dan tinta. Hal ini juga dilakukan Liem Kheng Yong dalam menuliskan aksara lontaraq yang biasanya menggunakan pena atau kallang (kalam). Meskipun demikian, tulisan lontaraq Liem Kheng Yong sangat terbaca dengan baik.
Liem Kheng Yong tidak berupaya untuk mengadaptasi cerita tersebut. Ia semata-mata menerjemahkannya dari cerita aslinya, sehingga nama-nama China tetap dipertahankannya lalu ditulisnya dalam aksara China, demikian juga dengan nama lembaga pemerintahan tetap digunakan. Mungkin dengan demikian pembaca yang kebanyakan adalah juga orang China yang sudah lama tinggal atau bahkan yang lahir di Makassar dapat kembali merasa dekat dengan tanah leluhurnya dan mengerti sistem sosial dan budaya yang ada di sana. Akan tetapi, penggunaan bahasa Makassar dan aksara lontara (dan bukan bahasa Melayu) menciptakan kesadaran bahwa mereka tidak lagi berada dalam lingkungan budaya China tetapi dalam lingkungan budaya Makassar yang mesti diakrabinya, dan sedapat mungkin menjadi orang Makassar dan berperilaku seperti penduduk asli.
Dalam era tahun 1930-an hingga 1940-an, karya besar Liem Kheng Yong masih digemari oleh perempuan-perempuan Tionghoa di Makassar (terutama uwa-uwa dan encim-encim), terutama mereka yang sudah berbaur akrab dan kawin-mawin dengan orang Makassar dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa Makassar.
Dalam era tahun 1930-an hingga 1940-an, karya besar Liem Kheng Yong masih digemari oleh perempuan-perempuan Tionghoa di Makassar (terutama uwa-uwa dan encim-encim), terutama mereka yang sudah berbaur akrab dan kawin-mawin dengan orang Makassar dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar