Minggu, 17 Juni 2012

Kesimpulan yang Salah

Sedikit pun saya tidak pernah merasa sungkan, segan apalagi aneh pergi ke restoran sendirian. Saya pergi ke sana hanya dengan satu tujuan mengisi perut. Jadi ngapain pusing walau saya selalu sendirian. Itu aja kog repot. Kadang sendiri itu indah. Namun rupanya kesendirian itu menjadi bahan permenungan dan pertanyaan bagi karyawan Restoran Michele. Dia bertanya-tanya dalam hati mengapa, “Bapak ini selalu datang sendirian,” Saya tidak tahu apakah tampangku lebih cocok bapak-bapak atau pemuda gaul.

Begitulah tadi saya datang lagi ke restoran itu untuk makan siang. Tidak tahan barangkali menyimpan-nyimpan dalam hati, maka setelah saya membayar makanan itu, ia bertanya, “Apakah bapak cerai? “Oh my God“ spontan saya berkata demikian. Segera saya bertanya balik, “Kenapa kamu bertanya apakah saya cerai? Dia menjawab, “Karena bapak selalu datang sendirian.” Jadi karena saya selalu sendirian maka kamu berpikir bahwa saya cerai? Tidaklah yau….. jawabku sedikit protes. Memang kalau saya amati orang-orang yang datang ke restoran itu paling sedikit dua orang bahkan ada yang lebih; suami-isteri beserta anak-anak, pasangan, atau dengan teman kerja. Saya selalu single.

Memberi cap kepada seseorang sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun masalah sering terjadi kesan negatif yang diberikan itu terlalu apriori sehingga sama sekali tidak benar. Ada beberapa factor yang menyebabkan demikian antara lain kita sering lebih focus melihat kesan atau penampilan fisik. Misalnya kalau kita merasa panas di telinga atau sering bersin, itu pertanda orang lain membicarakan atau menjelek-jelekkan kita. Padahal belum tentu. Orang yang berperawakan seram, wajah sangar belum tentu berperilaku dan berperangai kasar dan sebaliknya yang berwajah manis, lembut, inosent belum jaminan ia berperilaku halus dan lembut. Kedua karena tidak ada dialog maka sering mengandaikan dan pengandaian itu kerap tidak benar. Ini yang terjadi dalam pengalaman saya tadi.

Para sahabatku terkasih, mengapa orang sering memberi cap atau berpikiran negatif tentang orang lain? Satu buku Sosiologi, “Understanding Human Behavior and The Social Environment,” menjelaskan karena mereka sudah dicecoki dengan pemikiran dan perasaan negatife. Atau lebih parah karena mereka sering membicarakan dan berpikiran negatif tentang orang lain sehingga kita berpikir hal yang sama bahwa orang lain juga berpikiran negatif tentang mereka. Ini jelas kesimpulan yang tidak ada hubungannya. Contoh konkrit, kalau kita melihat orang lain bergerombol dan berbicara, kita langsung berpikir bahwa mereka sedang membicarakan kita. Ini bisa terjadi karena kita sendiri sering membicarakan orang lain, sehingga kita curiga juga kalau orang lain juga sering membicarakan kita. Padahal belum tentu hal itu benar.

Apakah kesan itu dalam dirimu? Mari kita belajar membuang sikap dan pemikiran negatif tentang orang lain. Mencap orang lain salah dan jelek tanpa pernah bertanya adalah sikap yang tidak baik. Tergesa-gesa memberi penilaian dan kesimpulan juga adalah tindakan egois. Maka mari kita belajar berpikir positif. Sejelek-jeleknya orang pasti ada kebaikannya, sebodoh-bodohnya seseorang pasti ada kelebihannya. Sebaliknya sehebat-hebatnya orang pasti ada kelemahannya, sepintar-pintarnya seseorang pasti ada kekurangannya. Focus utama ialah menghargai orang karena martabat kemanusiaannya dan bukan terutama kemampuan atau asesory yang dimilikinya. Bertanya dan berdialog dalam hidup juga cara untuk mengikis pemikiran negatif itu.


Yos'Ivo OFmCap
Sumber Elly Anggraini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar