Selasa, 16 Oktober 2012

Enak rasanya rappo kadalle
Didjoeal moerah djai taralle
Soenggoe nona angerang dalle
Harep dateng a’mole-mole

Makan ajam le’ba’ samballe
Enak dimakan tarasi balle
Djikaloe bisa sibole-bole
Djangan nona a’balle-balle

Naek goenoeng boetta Makale
Djoeal saroeng na tjele-tjele
Djikaloe nona a’balle-balle
Tentoe nona djadi capele


Pantun-pantun di atas adalah perpaduan antara bahasa Melayu berdialek Jakarta dengan bahasa Makassar. Ketika sastra Melayu berkembang di Nusantara pada awal abad ke-20, pengaruhnya juga terasa sampai ke Makassar. Akan tetapi, di paruh pertama, penulis lokal Makassar kemungkinan mengalami kesulitan, atau bisa saja tidak terlalu peduli, untuk mengadaptasi pantun Melayu ke dalam bahasa Makassar. Namun di tahun 1930-an, kesulitan itu setidaknya sudah terselesaikan. Pantun yang dikutipkan di atas adalah bentuk kreativitas penulis lokal Makassar ketika berinteraksi dengan sastra Melayu yang berkembang pada saat itu.

Tapi siapa yang menjadi tokoh adaptasi tersebut? Ini mungkin yang sangat unik. Ternyata, pelopor pantun Melayu Makassar itu adalah seorang keturunan Tionghoa yang bermukim di Makassar, Ang Ban Tjiong. Didorong oleh kecintaannya kepada bahasa Makassar, dia kemudian menulis sekitar 200 bait pantun yang dikumpulkan di dalam buku Pantoen Melajoe-Makassar
Di dalam pengantar buku pantun itu.
Ang Ban Tjiong mengatakan, “Saya sengadja buat (pantun) begitoe roepa oleh karna menginget kita punja bahasa Makassar sendiri, tidak kalah aloesnja, sedapnja dan bagoesnja, bila mau dibandingkan dengan pantoen bahasa Melajoe.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar