Kualitas peradaban dari jaman ke jaman sangat ditentukan oleh
kualitas respons manusia terhadap tantangan. Tantangan selalu baru,
tetapi respons kita selalu lama, selama kita merespons dari
keterkondisian kita. Perubahan-perubahan sosial pinggiran bisa dilakukan
dengan membuat undang-undang dan memperkeras sangsi atas pelanggaran.
Semua itu belum cukup. Perubahan yang sesungguhnya tidak datang dari
undang-undang dan hukuman, tetapi dari respons yang menyeluruh atas
tantangan. Pendidikan penyadaran akan tanggung jawab social belum cukup
menggerakkan orang untuk menjawab tantangan secara memadai selama orang
belum menyadari keterkondisian batinnya sendiri dan reaksi-reaksi yang
muncul dari keterkondisian itu.
Total Respons
Kata orang di dalam cinta ada tanggung jawab. Kalau Anda mencintai
pasangan hidup, anak dan keluarga, maka Anda memiliki setumpuk kewajiban
yang harus Anda lakukan. Misalnya, bekerja keras mencari penghidupan,
memuaskan pasangan secara lahir dan batin, membesarkan anak-anak, dst.
Kalau kita mencintai agama atau negara kita, maka sudah layak kita
membela agama dan negara kita.
Begitulah orang mengalami cinta dalam dua wajah. Di satu sisi, ada
kenikmatan, kepuasan, keamanan yang sering dianggap sebagai kebahagiaan
dan di sisi lain ada tanggung jawab yang sering dianggap sebagai beban.
Maka di dalam cinta-keluarga, cinta-agama, cinta-bangsa, terkandung
tanggung jawab terhadap keluarga, tangung jawab terhadap agama, tanggung
jawab terhadap bangsa.
Dalam kata �tanggung jawab�, ada nuansa �keterpaksaan�, �beban�,
�kewajiban�, �tugas, �keharusan�. Bagaimana mungkin �cinta� berjalan
bersama dengan �kewajiban�? Selama suatu tindakan telah menjadi
�kewajiban�, maka di sana tidak ada lagi �cinta�.
Tanggung jawab pertama-tama bukanlah kewajiban untuk melakukan apa
yang seharusnya atau keberanian menanggung resiko atas tindakan yang
diambil, melainkan kemampuan kita merespons tantangan. Selama tidak ada
cinta, maka kita tidak mampu merespons tantangan secara total. Kita
hanya merespons tantangan menurut keterkondisian batin dan kewajiban
lalu menjadi beban. Kalau ada cinta, sesungguhnya tidak ada tanggung
jawab yang memberatkan. Yang ada adalah total respons terhadap
tantangan. Istilah “total respons” barangkali lebih tepat daripada
“tanggung jawab” untuk menggambarkan tindakan langsung dan seketika
terhadap tantangan yang muncul.
Bebas Keterkondisian
Cinta yang memungkinkan kita merespons secara total setiap tantangan
bukanlah dari otak atau memori. Ia bukan cinta rasa-perasaan. Ia bukan
hasil rekayasa imaginasi pikiran, bukan objek keinginan, bukan hasil
kehendak. Ia bukan cinta versi agama, kepercayaan, tradisi. Orang
mendambakan cinta, menginkan cinta, berdoa mendapatkan cinta, tetapi
cinta yang sesungguhnya tidak datang sebagai hasil daya-upaya.
Cinta yang bersumber dari otak atau memori adalah cinta-sentimentil,
cinta-perasaan, cinta-pikiran, cinta-sempit. Cinta seperti ini
terkondisi oleh masa lampau, oleh gambaran-gambaran kita sendiri, oleh
keinginan dan ketakutan, oleh harapan dan keputusasaan, oleh
sentimen-sentimen agama atau kelompok. Cinta terkondisi adalah seperti
bunga yang cepat layu. Sekarang mekar, memberikan warna-warni kehidupan,
tetapi besok sudah layu dimakan waktu.
Marilah kita melihat keterkondisian kita. Tubuh kita ini terkondisi
dan tubuh bereaksi menurut keterkondisiannya. Misalnya, orang tidak
begitu saja mudah mengubah pola makan dari nasi ke umbi-umbian kalau
bertahun-tahun tubuh sudah terbiasa mengkonsumsi nasi. Anda bisa
mengamati sendiri bagaiaman tubuh Anda memiliki mekanisme perlindungan
diri ketika menghadapi cuaca panas atau dingin, menghadapi sesuatu yang
mengancam, dst. Keterkondisian fisiologis pada tingkatan tertentu kita
butuhkan dan itu wajar agar tubuh bisa bekerja secara efektif dan
efisien.
Batin kita juga terkondisi oleh berbagai ingatan psikologis,
terkondisi oleh pengalaman, pengetahuan, tradisi, ajaran, agama,
ketakutan, harapan, ingatan akan kenikmatan dan kesakitan, rasa suka dan
tidak suka, dst. Kita terkondisi sebagai istri atau suami, buruh atau
majikan, orang Jawa, China, Batak, Flores, Ambon, atau suku tertentu,
sebagai orang Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, sebagai
teis atau a-teis, sebagai orang fundamentalis, moderat atau liberal.
Berbeda dengan tubuh, batin yang terkondisi justru menjadi kerdil,
dungu, tidak inteligen, tidak ada cinta. Lihatlah batin Anda sendiri.
Selama batin Anda terkondisi, respons total terhadap tantangan tidak
mungkin terjadi. Kita hidup, bertindak dan berfungsi menurut
keterkondisian batin kita. Kita menyukai atau tidak menyukai sesuatu,
mencintai atau tidak mencintai sesuatu menurut keterkondisian kita, kita
bereaksi dan bertindak menurut beban-pengaruh masa lampau. Bisakah kita
bebas sepenuhnya dari keterkondisian? Jangalanlah cepat-cepat menjawab
bisa atau tidak bisa. Semua jawaban pikiran tidak menjawab pertanyaan
karena dipenjara oleh keterkondisian. Bisakah kita keluar dari penjara
keterkondisian ini?
Inti dari keterkondisian ini tidak lain adalah ego atau si aku. Kalau
si aku berakhir, sekalipun hanya beberapa saat, maka kita bebas dari
keterkondisian, bebas sepenuhnya dari masa lampau. Bisakah kita
mengamati langsung keterkondisian dan reaksi-reaksi yang muncul dari
keterkondisian, tanpa si aku sebagai pengamat? Bisakah kita melihat secara langsung apa yang kita sebut cinta yang terkondisi itu tanpa penilaian?
Melihat secara langsung merupakan tindakan seketika tanpa pengkondisian
dan melihat dengan cara demikian membebaskan kita dari beban-pengaruh
masa lampau.
Tantangan Universal
Wajah penderitaan ada di mana-mana. Di seluruh dunia, manusia hidup
dalam konflik, kecemasan, takut, sedikit rasa aman, kurang bahagia,
tanpa cinta. Penderitaan ini tidak kenal suku, bangsa, bahasa, agama,
ras, golongan, status sosial, umur, jenis kelamin, dst.
Secara kejiwaan penderitaan Anda adalah penderitaan dunia. Anda tidak
terpisah dari manusia lain yang terluka, sedih dan menderita. Anda
adalah dunia dan dunia adalah Anda.
Ketika kita menderita, kita berpikir kitalah yang menderita secara
personal. Tetapi ketika kita melihat tidak ada lagi si individu yang
menderita, tidak ada �aku� tidak ada �kamu�, hanya ada penderitaan
sebagai fenomen universal, lalu apa respons kita? Apa tanggapan Anda
saat Anda melihat penderitaan adalah universalitas kemanusiaan itu?
Ketika kita melihat orang asing menderita–bukan pasangan hidup,
anak-anak atau keluarga Anda atau orang-orang yang dekat di hati
kita–pikiran mengatakan mereka bukan keluargaku, bukan orang-orang
dekatku, bukan tanggung jawabku. Tetapi ketika kita melihat bahwa
penderitaan mereka adalah penderitaan dunia, sebagai penderitaan
universal, tidak ada �kita� dan �mereka�, apa tanggapan kita?
Selama pikiran melakukan proses identifikasi dan pengkotak-kotakkan�ini
penderitaanku, itu penderitaanmu, ini tanggung jawabku, itu tanggung
jawabmu, ini agamaku, itu agamamu–maka setiap tantangan tidak
mendapatkan respons yang tepat.
Ada banyak tantangan menghadang di depan mata: pemanasan global,
kekeringan, banjir, pembabatan hutan, pengalihan lahan, penyusutan
ketersediaan pangan, kemiskinan, korupsi, kekerasan, dst. Ini semua
menuntut respons total bersama. Seperti apakah respons Anda?
Kita bertanggung jawab pertama-tama bukan kepada keluargaku, agamaku,
bangsaku, masyarakatku, lingkungan-hidupku, tetapi kepada seluruh
kemanusiaan dan seluruh alam semesta. Bisakah kita melihat
tantangan-tantangan universal tanpa proses identifikasi dan
pengkotak-kotakan psikologis. Ketika tanggung jawab bergerak bukan
berdasarkan keterkondisian kita, bukankah lalu muncul respons total itu
dan gerakan sosial menemukan basisnya yang lebih solid?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar