Jumat, 05 Oktober 2012

Cinta dan Tanggung Jawab

Kualitas peradaban dari jaman ke jaman sangat ditentukan oleh kualitas respons manusia terhadap tantangan. Tantangan selalu baru, tetapi respons kita selalu lama, selama kita merespons dari keterkondisian kita. Perubahan-perubahan sosial pinggiran bisa dilakukan dengan membuat undang-undang dan memperkeras sangsi atas pelanggaran. Semua itu belum cukup. Perubahan yang sesungguhnya tidak datang dari undang-undang dan hukuman, tetapi dari respons yang menyeluruh atas tantangan. Pendidikan penyadaran akan tanggung jawab social belum cukup menggerakkan orang untuk menjawab tantangan secara memadai selama orang belum menyadari keterkondisian batinnya sendiri dan reaksi-reaksi yang muncul dari keterkondisian itu.

Total Respons
Kata orang di dalam cinta ada tanggung jawab. Kalau Anda mencintai pasangan hidup, anak dan keluarga, maka Anda memiliki setumpuk kewajiban yang harus Anda lakukan. Misalnya, bekerja keras mencari penghidupan, memuaskan pasangan secara lahir dan batin, membesarkan anak-anak, dst. Kalau kita mencintai agama atau negara kita, maka sudah layak kita membela agama dan negara kita. 

Begitulah orang mengalami cinta dalam dua wajah. Di satu sisi, ada kenikmatan, kepuasan, keamanan yang sering dianggap sebagai kebahagiaan dan di sisi lain ada tanggung jawab yang sering dianggap sebagai beban. Maka di dalam cinta-keluarga, cinta-agama, cinta-bangsa, terkandung tanggung jawab terhadap keluarga, tangung jawab terhadap agama, tanggung jawab terhadap bangsa.

Dalam kata �tanggung jawab�, ada nuansa �keterpaksaan�, �beban�, �kewajiban�, �tugas, �keharusan�. Bagaimana mungkin �cinta� berjalan bersama dengan �kewajiban�? Selama suatu tindakan telah menjadi �kewajiban�, maka di sana tidak ada lagi �cinta�.

Tanggung jawab pertama-tama bukanlah kewajiban untuk melakukan apa yang seharusnya atau keberanian menanggung resiko atas tindakan yang diambil, melainkan kemampuan kita merespons tantangan. Selama tidak ada cinta, maka kita tidak mampu merespons tantangan secara total. Kita hanya merespons tantangan menurut keterkondisian batin dan kewajiban lalu menjadi beban. Kalau ada cinta, sesungguhnya tidak ada tanggung jawab yang memberatkan. Yang ada adalah total respons terhadap tantangan. Istilah “total respons” barangkali lebih tepat daripada “tanggung jawab” untuk menggambarkan tindakan langsung dan seketika terhadap tantangan yang muncul.

Bebas Keterkondisian
Cinta yang memungkinkan kita merespons secara total setiap tantangan bukanlah dari otak atau memori. Ia bukan cinta rasa-perasaan. Ia bukan hasil rekayasa imaginasi pikiran, bukan objek keinginan, bukan hasil kehendak. Ia bukan cinta versi agama, kepercayaan, tradisi. Orang mendambakan cinta, menginkan cinta, berdoa mendapatkan cinta, tetapi cinta yang sesungguhnya tidak datang sebagai hasil daya-upaya.

Cinta yang bersumber dari otak atau memori adalah cinta-sentimentil, cinta-perasaan, cinta-pikiran, cinta-sempit. Cinta seperti ini terkondisi oleh masa lampau, oleh gambaran-gambaran kita sendiri, oleh keinginan dan ketakutan, oleh harapan dan keputusasaan, oleh sentimen-sentimen agama atau kelompok. Cinta terkondisi adalah seperti bunga yang cepat layu. Sekarang mekar, memberikan warna-warni kehidupan, tetapi besok sudah layu dimakan waktu. 

Marilah kita melihat keterkondisian kita. Tubuh kita ini terkondisi dan tubuh bereaksi menurut keterkondisiannya. Misalnya, orang tidak begitu saja mudah mengubah pola makan dari nasi ke umbi-umbian kalau bertahun-tahun tubuh sudah terbiasa mengkonsumsi nasi. Anda bisa mengamati sendiri bagaiaman tubuh Anda memiliki mekanisme perlindungan diri ketika menghadapi cuaca panas atau dingin, menghadapi sesuatu yang mengancam, dst. Keterkondisian fisiologis pada tingkatan tertentu kita butuhkan dan itu wajar agar tubuh bisa bekerja secara efektif dan efisien. 

Batin kita juga terkondisi oleh berbagai ingatan psikologis, terkondisi oleh pengalaman, pengetahuan, tradisi, ajaran, agama, ketakutan, harapan, ingatan akan kenikmatan dan kesakitan, rasa suka dan tidak suka, dst. Kita terkondisi sebagai istri atau suami, buruh atau majikan, orang Jawa, China, Batak, Flores, Ambon, atau suku tertentu, sebagai orang Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, sebagai teis atau a-teis, sebagai orang fundamentalis, moderat atau liberal.

Berbeda dengan tubuh, batin yang terkondisi justru menjadi kerdil, dungu, tidak inteligen, tidak ada cinta. Lihatlah batin Anda sendiri. Selama batin Anda terkondisi, respons total terhadap tantangan tidak mungkin terjadi. Kita hidup, bertindak dan berfungsi menurut keterkondisian batin kita. Kita menyukai atau tidak menyukai sesuatu, mencintai atau tidak mencintai sesuatu menurut keterkondisian kita, kita bereaksi dan bertindak menurut beban-pengaruh masa lampau. Bisakah kita bebas sepenuhnya dari keterkondisian? Jangalanlah cepat-cepat menjawab bisa atau tidak bisa. Semua jawaban pikiran tidak menjawab pertanyaan karena dipenjara oleh keterkondisian. Bisakah kita keluar dari penjara keterkondisian ini?

Inti dari keterkondisian ini tidak lain adalah ego atau si aku. Kalau si aku berakhir, sekalipun hanya beberapa saat, maka kita bebas dari keterkondisian, bebas sepenuhnya dari masa lampau. Bisakah kita mengamati langsung keterkondisian dan reaksi-reaksi yang muncul dari keterkondisian, tanpa si aku sebagai pengamat? Bisakah kita melihat secara langsung apa yang kita sebut cinta yang terkondisi itu tanpa penilaian? Melihat secara langsung merupakan tindakan seketika tanpa pengkondisian dan melihat dengan cara demikian membebaskan kita dari beban-pengaruh masa lampau.

Tantangan Universal
Wajah penderitaan ada di mana-mana. Di seluruh dunia, manusia hidup dalam konflik, kecemasan, takut, sedikit rasa aman, kurang bahagia, tanpa cinta. Penderitaan ini tidak kenal suku, bangsa, bahasa, agama, ras, golongan, status sosial, umur, jenis kelamin, dst.

Secara kejiwaan penderitaan Anda adalah penderitaan dunia. Anda tidak terpisah dari manusia lain yang terluka, sedih dan menderita. Anda adalah dunia dan dunia adalah Anda.

Ketika kita menderita, kita berpikir kitalah yang menderita secara personal. Tetapi ketika kita melihat tidak ada lagi si individu yang menderita, tidak ada �aku� tidak ada �kamu�, hanya ada penderitaan sebagai fenomen universal, lalu apa respons kita? Apa tanggapan Anda saat Anda melihat penderitaan adalah universalitas kemanusiaan itu?

Ketika kita melihat orang asing menderita–bukan pasangan hidup, anak-anak atau keluarga Anda atau orang-orang yang dekat di hati kita–pikiran mengatakan mereka bukan keluargaku, bukan orang-orang dekatku, bukan tanggung jawabku. Tetapi ketika kita melihat bahwa penderitaan mereka adalah penderitaan dunia, sebagai penderitaan universal, tidak ada �kita� dan �mereka�, apa tanggapan kita?

Selama pikiran melakukan proses identifikasi dan pengkotak-kotakkan�ini penderitaanku, itu penderitaanmu, ini tanggung jawabku, itu tanggung jawabmu, ini agamaku, itu agamamu–maka setiap tantangan tidak mendapatkan respons yang tepat. 

Ada banyak tantangan menghadang di depan mata: pemanasan global, kekeringan, banjir, pembabatan hutan, pengalihan lahan, penyusutan ketersediaan pangan, kemiskinan, korupsi, kekerasan, dst. Ini semua menuntut respons total bersama. Seperti apakah respons Anda?

Kita bertanggung jawab pertama-tama bukan kepada keluargaku, agamaku, bangsaku, masyarakatku, lingkungan-hidupku, tetapi kepada seluruh kemanusiaan dan seluruh alam semesta. Bisakah kita melihat tantangan-tantangan universal tanpa proses identifikasi dan pengkotak-kotakan psikologis. Ketika tanggung jawab bergerak bukan berdasarkan keterkondisian kita, bukankah lalu muncul respons total itu dan gerakan sosial menemukan basisnya yang lebih solid?*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar