Sabtu, 16 Juni 2012

“DEMI ENGKAU, AKU HARUS BERKORBAN”

Pengalaman hari ini mengingatkanku akan sebaris lagu; “…Aku terjepit di sela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan.”


Dengan kedua tangan seakan memeluk bumi, kubiarkan wanita muda itu berada di dalam lingakaran kedua tanganku. Dia hanya tersenyum manis padaku dan berkata; Selamat po! = Terima kasih pa.” Aku pun membalas senyumnya tanpa peduli jerlingan mata orang-orang disekitarku yang mengira wanita itu adalah istriku…Waduh gimana? Maklum hitam – putih alias kopi susu warna kulitnya dan kulitku. Dia adalah seorang wanita yang sedang mengandung, yang perutnya semakin membesar, tapi mencoba menggapai kereta pagi demi sesuap nasi, walaupun ia tahu bahwa ada pengaruh untuk bayi yang sedang dikandungnya.Demikianlah gambaran padatnya penumpang kereta api di kota Manila setiap pagi.

Karena ada urusan di kedutaan maka pagi sekitar jam 7.30 aku sudah bergegas ke station kereta api dengan catatan bahwa jam 8 sudah sampai di tempat tujuan. Apa yang terjadi? Sampai di kedutaan sudah hampir jam 10 hanya karena antrian panjang para pekerja yang mau menumpang kereta api. Kereta yang hampir bergantian sekitar 5 menit itu pun seakan tak mampu menampung para pekerja yang mengantri di station kereta. Maka pengalaman yang kututurkan di atas terjadi ketika dengan langkah penuh kehati-hatian sambil menahan perih di bagian perutnya, wanita itu melangkah mendekati kereta api. Melihatnya, aku langsung bereaksi dengan mengeraskan kedua tanganku membentuk lingkaran agar wanita itu aman di dalamnya walaupun hanya berdiri sampai ke tempat tujuan.

Ada sesuatu yang indah selama hari ini berlangsung, karena setidak-tidaknya sepanjang pagi sampai malam pulang misa pun terlihat banyak wanita muda dengan perut mereka yang semakin menonjol ke depan sebagai tanda ada cikal bakal anak manusia yang akan lahir. Ada yang kandunganya terlihat jelas membesar dengan senyum mempesona, yang lain dengan perut yang sekitar 5-6 bulan....koq tahu? Perkirakan saja.....dengan wajah cemas memandang kesekitaran, sedangkan yang kandungannya masih sekitar 3-4 bulan masih melenggang bebas sambil bercakap dengan teman-teman mereka sambil menunggu kereta pagi yang akan membawa mereka ke tempat kerja.

Ada sedikit keanehan dalam penglihatanku atas wanita-wanita ini.....maklum tak beristri...atau ada rencana ni.....rahasia...yakni hampir semua wanita hamil yang kulihat hari ini bepergian tanpa didampingi suami. Wow...candaku dalam hati; Iya, letakan beban di pundak....e, perut orang lain, tapi sendiri tak pernah menyentuhnya...Maaf, bila candaku berlebihan.

Aku lalu sejenak berpikir dan membayangkan apa yang ada di pikiran suami dan istri seperti itu;

Apa yang dipikirkan oleh wanita yang kandungannya sudah membesar tapi tetap tersenyum?

Apa yang dilamunkan oleh wanita yang kehamilannya sekitar 5-6 bulan dengan wajah muram bahkan seakan tak mampu mengangkat wajah memandang mereka yang melihatnya?

Apa saja yang dipercakapkan oleh mereka yang kehamilannya berkisar antara 3-4 bulan?

Apa yang sedang dipikirkan oleh para suami yang melepaskan istri mereka pergi sendirian untuk mencari nafkah? Cemas, takut, atau malah mengharuskan? Ah....hatiku menuduh; Dasar....kamu tak pernah beristri, jadi pikiranmu macam-macam.

Ah, benar juga….Aku lalu diam sejenak sambil mengingat bahwa dulu pun seorang Bunda pernah berjalan dari Nazaret ke pegunungan Yudea ketika ia mengandung bayi Yesus. Ia tinggal di sana sambil memasak, mencuci dan membantu Elizabeth, saudaranya sambil membawa dan memelihara Sang Penyelamat di dalam rahimnya.

Ingatanku pun melintas jauh ke 41 tahun yang lalu ketika ada seorang wanita yang membawa bayinya di dalam kandungannya ke kebun sendirian, naik gunung dan turun lembah dengan penuh kehati-hatian. Wanita itu juga membawa bayinya ke sungai sambil mencuci pakaian, memasak, pergi ke gereja, atau pun hanya duduk bercerita dengan teman-temannya. Dan, sungguh, atas keluhuran cintanya untuk merawat bayinya, maka lahirlah dia, sahabatmu, yang sekarang menuliskan cerita ini untukmu.

Hanya mau mengatakan kepadamu bahwa mama kita sungguh luar biasa. Bila malam ini Anda teringat bagaimana mamamu telah berkorban pada masa-masa awal kehidupanmu sebagai janin dan bayi di dalam rahimnya, maka seharusnya malam ini, atau setidak-tidaknya di masa prapaskah ini, kiranya menjadi kesempatan bagimu untuk meminta maaf kepadanya atas kasarnya kata dan tindakan yang telah Anda lakukan kepada wanita, yang Anda sapa dengan kata lembut penuh makna “MAMA.”

Goresan hati seorang sahabat,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar