Seorang
pemuda mendatangi Zen-sei dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti
mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat
sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk tujuan lain?"
Sang Guru hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu
jarinya dan berkata, "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi
lebih dahulu lakukanlah satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan
bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu
keping emas?"
Melihat cincin Zen-sei yang kotor, pemuda tadi
merasa ragu, "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual
seharga itu."
"Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil," kata guru
Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada
pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada
yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu
keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak.
Tentu
saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak.
Ia kembali ke padepokan Zen-sei dan melapor, "Guru, tak seorang pun
berani menawar lebih dari satu keping perak."
Zen-sei, sambil
tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di
belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang
emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan
penilaian."
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia
kembali kepada Zen-sei dengan raut wajah yang lain dan berkata, "Guru,
ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai cincin ini
sesungguhnya. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping perak.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar
oleh para pedagang di pasar."
Zen-sei tersenyum simpul sambil
berujar lirih, "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda.
Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur,
ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi
"pedagang emas".
"Emas dan permata yang ada dalam diri
seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke
kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk melihatnya, dan itu
membutuhkan proses. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan
sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas
ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas "
Semoga sekelumit cerita di atas dapat menambah kedalaman jiwa kita dalam memandang makna hidup dan kehidupan ini.
Tuhan memberkati....
Sumber : BUNDA PENOLONG ABADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar