Selasa, 23 Oktober 2012

Mengenang Karya Hong Eng Djie.

 

Saya merasa terpancing untuk menyambut artikel itu.

Waktu saya masih remaja biasa pergi ke rumah Ho Eng Djie bersama-sama kakak sepupu saya Rukuq Dg Mappataq (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu), biasanya berbincang-bincang tentang filsafat. Di rumah Ho Eng Djie terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap lembar bertuliskan Kelong Mangkasaraq hasil gubahannya dalam aksara Lontaraq. Menurut sejarah aksara Lontaraq ini dikarang oleh Sabannaraq Daeng Pammatte. Sabannaraq artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini adalah syahbandar Kerajaan Gowa dahulu. Suatu waktu tatkala kami berdua berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong leqbaq kupareq, apanne (hai anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasaraq seperti yang dikutip di bawah ini.

Kamma memangiq linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.

Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu

"Tena kussituruq kelongta Babaq, nasabaq tena nakamma ngaseng tauwa ri lino, sipaqgangji kammanjo. Napunna niyaq ancallaki iyareka nasere ati rikalenta, nia baca-bacana ilalang ri Koranga (saya tidak sependapat dengan isi kelong yang Baba gubah, sebab tidak semua orang dalam dunia demikian sikapnya, hanya sebagian saja yang demikian. Namun jikalau ada yang mencela ataupun dengki kepada kita ada baca-bacanya di dalam Al Quran)". "Ha, niya baca-bacana? Antekamma! (Oh ya, ada baca-bacanya? Bagaimana!). Maka saya bacakanlah S. Al Falaq: Qul A'uwdzu bi Rabbi lFalaqi. Min Syarri maa Khalaqa. Wa min SYarri Ghasiqin Idzaa Waqaba. Wamin SYarri nNafFa-tsa-ti fi l'Uqadi. Wamin SYarri Haasidin idzaa Hasada. Katakan, saya berlindung kepada Yang Maha Pengatur falak. Dari kejahatan makhluk. Dan dari kejahatan malam bila telah gelap. Dan dari kejahatan penyihir yang meniup dengan air ludahnya pada buhul tali. Dan dari kejahatan orang yang iri-hati bila ia melahirkan dengkinya.

Sejenak Ho Eng Djie tertegun, kemudian berkata: "Bajiq sikali antu baca-bacayya, mingka sitojeng-tojengna niyaq ilalanganna anjo kelonga (baik benar itu baca-baca, namun sebenarnya ada yang tersirat dalam syair itu)". Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipaqna, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepoloq (Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam usaha dagangnya mereka dicemburui.

Kemudian Ho Eng Djie melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipaqna Yahudiya ri Aropa, iyamintu naallei kalenna (seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa, adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu dibaurkan bersama. (Dikutip dari: Seri 328. Warga Keturunan Cina, 28 Juni 1998).

***

Dalam artikel "Mengenang Karya-Karya Hong Eng Djie" hanya gubahan Ho Eng Djie saja yang disebut, sedangkan lagu-lagu lain yang bukan gubahannya hanya disebutkan secara umum: lagu-lagu Makassar, Bugis, Mandar dan Selayar. Mestinya disebutkan pula lagu-lagu itu seperti misalnya: Mas Bangung, Mas Mera, Air Mawar, Rambang-Rambang dll. Walaupun bukan gubahan Ho Eng Djie, tetapi termasuk karya-karya Ho Eng Djie juga dalam hal aransemen (arrangement).

Saya pribadi mempunyai nostalgia lagu Rambang-Rambang. Ini pernah saya tulis. Malam Jumat, 4 Agustus 1994, di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu tatkala mendengarkan alunan suara budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq, menyanyikan "Minasa ri Boritta", saya bernostalgia, ingat tempo doeloe, ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri, tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Sebelum Perang Dunia kedua kalau ada Pasar Malam di Makassar, Parambang-Rambang Silayaraq tidak pernah absen. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu Rambang-Rambang. (dari Seri 139. Rambang-Rambang, Nostalgia Tempo Doeloe, 7 Agustus 1994).

Apa itu Rambang-Rambang? Aq-rambang-ang? Itu adalah istilah dalam kalangan pelaut, artinya berlayar beriring.

Pakabajiki boritta
Kimassing assamaturuq
Nakiqrambangang
Assombali mateqneya

Benahilah negeri kita
Masing-masing bersepakat
Berlayar beriring
Mencapai idaman manis

Mencapai idaman manis, kalau meminjam gaya Ambon: "Menuju Ambong manise". Karena judul seri ini nama orang, maka marilah pada awal tahun 2004 kita tutup perbincangan ringan ini, dengan tiga daur (siklus) nama orang: Bram Aceh orang Ambong, Ibrahim Ambong orang Bugis, Isa Bugis orang Aceh. Maaarikiiii. WaLlahu a'lamu bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar