Saya
merasa terpancing untuk menyambut artikel itu.
Waktu saya masih
remaja biasa pergi ke rumah Ho Eng Djie bersama-sama kakak sepupu saya
Rukuq Dg Mappataq (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu
veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu), biasanya
berbincang-bincang tentang filsafat. Di rumah Ho Eng Djie terdapat
sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap
lembar bertuliskan Kelong Mangkasaraq hasil gubahannya dalam aksara
Lontaraq. Menurut sejarah aksara Lontaraq ini dikarang oleh Sabannaraq
Daeng Pammatte. Sabannaraq artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini
adalah syahbandar Kerajaan Gowa dahulu. Suatu waktu tatkala kami berdua
berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong leqbaq kupareq, apanne (hai
anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil
mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasaraq seperti yang
dikutip di bawah ini.
Kamma memangiq linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.
Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu
"Tena
kussituruq kelongta Babaq, nasabaq tena nakamma ngaseng tauwa ri lino,
sipaqgangji kammanjo. Napunna niyaq ancallaki iyareka nasere ati
rikalenta, nia baca-bacana ilalang ri Koranga (saya tidak
sependapat dengan isi kelong yang Baba gubah, sebab tidak semua orang
dalam dunia demikian sikapnya, hanya sebagian saja yang demikian. Namun
jikalau ada yang mencela ataupun dengki kepada kita ada baca-bacanya di
dalam Al Quran)". "Ha, niya baca-bacana? Antekamma!
(Oh ya, ada baca-bacanya? Bagaimana!). Maka saya bacakanlah S. Al
Falaq: Qul A'uwdzu bi Rabbi lFalaqi. Min Syarri maa Khalaqa. Wa min
SYarri Ghasiqin Idzaa Waqaba. Wamin SYarri nNafFa-tsa-ti fi l'Uqadi.
Wamin SYarri Haasidin idzaa Hasada. Katakan, saya berlindung kepada Yang
Maha Pengatur falak. Dari kejahatan makhluk. Dan dari kejahatan malam
bila telah gelap. Dan dari kejahatan penyihir yang meniup dengan air
ludahnya pada buhul tali. Dan dari kejahatan orang yang iri-hati bila ia
melahirkan dengkinya.
Sejenak Ho Eng Djie tertegun, kemudian berkata: "Bajiq sikali antu baca-bacayya, mingka sitojeng-tojengna niyaq ilalanganna anjo kelonga
(baik benar itu baca-baca, namun sebenarnya ada yang tersirat dalam
syair itu)". Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada
umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga
peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang
tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipaqna, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepoloq
(Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka
semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam
usaha dagangnya mereka dicemburui.
Kemudian Ho Eng Djie
melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga
keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipaqna Yahudiya ri Aropa, iyamintu naallei kalenna
(seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar
belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa,
adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas
piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya
a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam
Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu
dibaurkan bersama. (Dikutip dari: Seri 328. Warga Keturunan Cina, 28
Juni 1998).
***
Dalam artikel "Mengenang Karya-Karya Hong
Eng Djie" hanya gubahan Ho Eng Djie saja yang disebut, sedangkan
lagu-lagu lain yang bukan gubahannya hanya disebutkan secara umum:
lagu-lagu Makassar, Bugis, Mandar dan Selayar. Mestinya disebutkan pula
lagu-lagu itu seperti misalnya: Mas Bangung, Mas Mera, Air Mawar,
Rambang-Rambang dll. Walaupun bukan gubahan Ho Eng Djie, tetapi termasuk
karya-karya Ho Eng Djie juga dalam hal aransemen (arrangement).
Saya
pribadi mempunyai nostalgia lagu Rambang-Rambang. Ini pernah saya
tulis. Malam Jumat, 4 Agustus 1994, di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu
tatkala mendengarkan alunan suara budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq,
menyanyikan "Minasa ri Boritta", saya bernostalgia, ingat tempo doeloe,
ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah
masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita
dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri,
tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian
solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Sebelum
Perang Dunia kedua kalau ada Pasar Malam di Makassar, Parambang-Rambang
Silayaraq tidak pernah absen. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan
perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan
apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa
lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu Rambang-Rambang. (dari Seri
139. Rambang-Rambang, Nostalgia Tempo Doeloe, 7 Agustus 1994).
Apa itu Rambang-Rambang? Aq-rambang-ang? Itu adalah istilah dalam kalangan pelaut, artinya berlayar beriring.
Pakabajiki boritta
Kimassing assamaturuq
Nakiqrambangang
Assombali mateqneya
Benahilah negeri kita
Masing-masing bersepakat
Berlayar beriring
Mencapai idaman manis
Mencapai
idaman manis, kalau meminjam gaya Ambon: "Menuju Ambong manise". Karena
judul seri ini nama orang, maka marilah pada awal tahun 2004 kita tutup
perbincangan ringan ini, dengan tiga daur (siklus) nama orang: Bram
Aceh orang Ambong, Ibrahim Ambong orang Bugis, Isa Bugis orang Aceh.
Maaarikiiii. WaLlahu a'lamu bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar