Lagu
Makassar Ati Raja, Dendang-dendang, Sailong, dan Amma Ciang, Bunga Sibollo, dan Malino sangat melegenda di kota Anging Mamiri - Makassar - Sulawesi Selatan, tetapi
tidak banyak yang tahu bahwa itu adalah karya seniman peranakan Tionghoa Ho Eng Djie terutama kalangan remaja
dan anak-anak zaman sekarang ini. Sebelum Republik ini belum berdiri,
banyak puisi, pantun, dan lagu daerah Makassar ciptaan seniman Tionghoa
peranakan.
Pada
era 1970 kebawah, setiap malam pengantin Tiong hoa Peranakan atau waktu Korantigi
yang biasa disebut malam pacar, warga Tionghoa Peranakan selalu memutar
lagu-lagu Hoo Eng Djie, utamanya lagu Dendang-Dendang.
Awal
ketertarikan menelusuri dan menggali lebih dalam tentang keturunan Tionghoa di Indonesia di Sulawesi Selatan khususnya
kota Daeng - Kota Anging Mammiri - Makassar,
membaca berita nama jalan Jampea berganti nama menjadi Jalan Ho Eng Djie
dan bila Ho Eng Djie adalah pencipta lagu Ati Raja, Dendang-dendang,
Sailong, dan Amma Ciang. Lagu Ati Raja misalnya, lagu yang paling populer dan
tak asing lagi di telinga masyarakat Sulawasi Selatan nama penciptanya tak
pernah disebut hanya dengan inisial N N, Ini sangat disayangkan karena
penciptanya tidak disebut. Bukan
soal Royalti atas karya cipta seseorang, ada yang penting dari itu yakni
catatan yang sangat berharga yang memiliki nilai sejarah yang perlu anak-cucu
ketahui dikemudian hari.
Pada dekade 1930-an hingga 1960-an nama Ho Eng Dji
sangat terkenal. Ho Eng Djie lebih banyak dikenal sebagai musisi yang
melahirkan lagu-lagu Makassar yang populer hingga saat ini. Sedikit orang yang
tahu kalau Ho Eng Dji juga banyak menulis syair-syair dalam bahasa Makassar. Pada
tahun 1950 Njoo Cheng Seng menemukan tulisan syair-syair Ho Eng Djie yang
tersimpan dalam sebuah kotak kayu, kemudian Njoo Cheng Seng menjadikannya
sebagai ilustrasi cerita Roman Tjilik-nya. Cerita ini terbit dua kali dalam
sebulan, di Jakarta. Roman Tjilik menggunakan bahasa Indonesia, dan syair-
syair Ho Eng Dji ditulis dalam bahasa Makassar dengan terjemahan Njoo Cheng
Seng ke dalam bahasa Indonesia. Roman Tjilik Njoo Cheng Seng tersebut, antara
lain berjudul Manusia Sempurna dalam Manusia Tidak Sempurna Ho Eng Dji, Sio
Sayang, Asep Hio dari Malino, Gagak Lokra Mencari Allah.
Karya-karya Ho Eng Dji lebih menonjolkan pandangan
filosofisnya terhadap kehidupan yang diwarnai semangat eksistensialisme. Ho Eng
Djie menyajikan banyak kekalahan awal manusia dalam melawan kehidupan yang
keras dan memandang kematian sebagai akhir dari segala penderitaan. Kematian
sebagai akhir bukan sesuatu yang kosong, tetapi sebuah wilayah untuk menuai
hasil dari kehidupan yang kadang begitu menekan. Kematian adalah sekutu
kehidupan, kemalangan menjadi pintu kebahagiaan yang hakiki.
Selain Ho
Eng Djie, ada beberapa nama keturunan Tionghoa yang punya andil dalam bidang
seni sastra dan seni budaya di Sulawesi
Selatan khususnya kota Makassar;
1. Pui Tjong Ang, memimpin
sebuah orkes yang khusus mengumandangkan lagu-lagu daerah Makassar. Pada masa
"makmurnya" kehidupan orkes di Tanah Air (1950-an sampai 1960-an),
Ho Eng Djie dan
Pui Tjong
Ang pentolan kelompok musik yang didominasi orang China peranakan pada
periode 1930-1960-an.
2. Ang Bang Tjiong, menulis sejumlah bait sastra
Melayu/Indonesia-Makassar. Dalam khazanah sastra Melayu maupun Makassar tentu
sangat sulit menemukan syair yang sepadan dengan apa yang telah ditulis oleh
Ang Ban Tjiong di era tahun 1930-an.
Ketika itu di Makassar masyarakat sangat terpikat
oleh pantun-pantun yang berbahasa Melayu meskipun mungkin ada hambatan
linguistik bagi masyarakat Makassar yang akrab dengan bahasa daerahnya. Melihat
gejala tersebut Ang Ban Tjiong menunjukkan jalan keluar dengan menciptakan
pantun-pantun yang menggunakan bahasa Melayu dan Makassar. Pantun tersebut
sangat dipengaruhi oleh pantun-pantun Melayu (dialek Jakarta), tetapi sang
penyair memasukkan pula bahasa Makassar pada setiap akhir lariknya. Hal ini
diakui oleh Ang Ban Tjiong dalam pengantar buku pantunnya yang berjudul Pantoen
Melayoe-Makassar sebagai sesuatu yang disengaja untuk dapat menyaingi pantun
Melayu.
Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200
bait/kuplet tersebut memiliki nilai estetika tersendiri jika dibandingkan
dengan pantun yang berbahasa Melayu. Ang Ban Tjiong tidak hanya berupaya
menciptakan persajakan berdasarkan bahasa Melayu, tetapi juga lebih
menyesuaikannya dengan diksi bahasa Makassar dan makna yang ingin ditandainya.
Ang Ban Tjiong bersusah payah dalam memilih kata Melayu
dan menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi
bait. Ia tidak hanya membuat persajakan aaaa agar yang dipilihnya dapat menyatu
dengan pilihan kata Melayu yang digunakan pada setiap awal baris, melainkan
setiap rangkaian kata dalam satu larik tersebut menciptakan nada yang harmonis
dan bermakna
.
Puisi/pantun Ang Ban Tjiong sangat menarik dan ia
menggunakannya sebagai media berceritera. Antara satu bait dengan bait lainnya
terdapat hubungan erat yang saling sambung menjadi pantun berkait, seperti
bait-bait berikut ini:
Enak rasanya
rappo kadalle (buah kedele)
Didjoeal
moerah djai taralle (banyak terbeli)
Soenggoe nona
angerang dalle, (membawa rezeki)
Harep dateng
a’mole-mole. (berkali-kali)
Pait rasanya
dje’ne pa’balle, (cairan obat)
Tidak melawan
ang-nginung sale (minum sale)
Harep dateng
a’mole-mole, (berkali- kali)
Djikaloe bisa
sabole-bole. (bersama-sama)
Syair-syair Ang Bang Tjiong juga berkisah tentang
gadis cantik dan materi (uang). Dalam salah satu pantunnya dikisahkan tentang
seorang pemuda yang jatuh cinta. Namun, Ang Ban Tjiong menciptakan konflik
antara gadis cantik dengan uang, harta benda, kekayaan, dan kedudukan sosial.
Ia menyadari bahwa kecantikan fisik dan harta benda (uang) tidak akan berarti
jika tidak disertai dengan budi yang baik, dan rasa cinta, kasih sayang dengan
sesama.
Selain tema cinta dan uang itu, ia juga menulis
tema kehidupan dan selebihnya nasihat-nasihat serta buah pikiran. Dalam pantun
tersebut sekaligus tercerminkan kondisi sosial masyarakat China peranakan yang
hidup lebih sederhana.
Ang Bang
Tjiong memilih jalur sastra dalam bentuk pantun/puisi
untuk mencurahkan isi hatinya. Ang Bang Tjong menulis sajak-sajak/Pantun
dengan mencampuradukkan bahasa Melayu dengan bahasa Makassar!
Misalnya :
Naik gunung Butta Makale,
Jual sarung jai taralle (jai taralle: banyak
laku/terjual),
Jikalau tuan aqballe-balle (aqballe-balle:
berbohong/dusta),
Tentu saya jadi capele (capele: kecewa ).
3. Liem Kheng Yong, lelaki Tionghoa peranakan Makassar ini pada tahun 1930-an telah
menerjemahkan tidak kurang dari 60 judul cerita klasik China ke dalam bahasa
Makassar dan disalin dengan aksara Lontara’, aksara
tradisional Bugis-Makassar.
Apa yang dilakukan oleh Liem Kheng Yong adalah
sesuatu yang sangat luar biasa karena beberapa hal:
- Ketekunannya menerjemahkan dan menyalin ulang sejumlah cerita tersebut, yang tentu saja memakan waktu yang cukup lama.
- Fanatisme dan idealisme Liem Kheng Yong terhadap bahasa Makassar dan terhadap aksara lontara’.
Sastrawan Tionghoa peranakan Liem Kheng Yong sangat
akrab dengan lingkungan dan masyarakat Makassar sehingga ia menguasai dengan
begitu baik bahasa Makassar, baik secara lisan maupun tulisan.
Menerjemahkan sebuah cerita tentu saja tidak hanya
melakukan alih bahasa, tetapi pertimbangan soal pengalihan sistem tanda dari
satu bahasa ke bahasa sasaran dengan kandungan makna atau pengertian yang
persis sama dengan maksud bahasa sumbernya. Tentunya hal ini tidaklah mudah.
Penguasaan terhadap kedua bahasa tersebut paling tidak harus sama baiknya.
Liem Kheng Yong memindahkan tradisi menulis aksara
China yang diwariskan oleh orangtuanya untuk menyalin atau menulis dalam aksara
lontara’. Namun, tradisi penulisan aksara China masih juga digunakannya dalam
menuliskan aksara lontara’. Kita tahu, orang Tionghoa menulis dengan
menggunakan kuas tulis dan tinta. Liem Kheng Yong dalam menuliskan aksara
lontara’ menggunakan pena atau kallang (kalam). Tulisan lontara’ Liem Kheng
Yong sangat terbaca dengan baik.
Dalam kerja penerjemahan, Liem Kheng Yong tidak
berupaya untuk mengadaptasi cerita tersebut. Ia semata-mata menerjemahkannya
dari cerita aslinya, sehingga nama-nama China tetap dipertahankannya lalu
ditulisnya dalam aksara China, demikian juga dengan nama lembaga pemerintahan
tetap digunakan. Mungkin dengan demikian pembaca yang kebanyakan adalah juga
orang China yang sudah lama tinggal atau bahkan yang lahir di Makassar dapat
kembali merasa dekat dengan tanah leluhurnya dan mengerti sistem sosial dan
budaya yang ada di sana. Akan tetapi, penggunaan bahasa Makassar dan aksara
lontara (dan bukan bahasa Melayu) menciptakan kesadaran bahwa mereka tidak lagi
berada dalam lingkungan budaya China tetapi dalam lingkungan budaya Makassar
yang mesti diakrabinya, dan sedapat mungkin menjadi orang Makassar dan
berperilaku seperti penduduk asli.
Dalam era tahun 1930-an hingga 1940-an, karya besar
Liem Kheng Yong masih digemari oleh perempuan-perempuan Tionghoa di Makassar
(terutama uwa-uwa dan encim-encim), terutama mereka yang sudah berbaur akrab
dan kawin-mawin dengan orang Makassar dan sudah sangat fasih menggunakan bahasa
Makassar.
WARGA keturunan Tionghoa Makassar adalah komunitas
masyarakat yang telah turut membangun kebudayaan di Kota Makassar sejak dari
masa lalu. Hal ini terbukti dengan lahirnya karya-karya sastra yang bermutu
tinggi dari kalangan mereka.
Keturunan Tionghoa di Makassar-apabila dibandingkan
dengan keturunan Tionghoa lainnya yang bermukim di bagian lain di Tanah
Air-masih lebih merakyat dan lebih berbaur dengan mereka yang pernah kita sebut
kaum pribumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar