Sabtu, 16 Juni 2012

“PELUKLAH DAKU DAN JANGAN KAU LEPAS LAGI”


KISAH INSPIRATIF DARI UMAT KEUSKUPAN AMBOINA

(Dari cerita Romo Damas di meja makan tempat kost di Quezon City-Filipina)

Ketika sang Romo membelokkan mobilnya menuju kota Ambon, tepat di persimpangan jalan di daerah Paso, terlihatlah sosok seorang ibu yang sedang menunggu kendaraan penumpang. Karena sang Romo mengenal ibu tersebut maka sambil memperlambat mobil sampai berhenti di depannya, sang romo bertanya; “Ibu, mau kemana?” Jawabnya; “Aku mau ke Ambon, romo.” “Mari…menumpanglah pada mobilku,” demikian sang romo mengajaknya.

Karena mengetahui sedikit latar belakang rumah tangganya, maka romo pun bertanya; “Bagaimana dengan keadaan rumah tanggamu sekarang?” Tidak menunggu lama, wanita keturunan Jawa, yang berasal dari Muslim itu pun menangis sejadi-jadinya. Sang romo pun kaget dan heran tapi membiarkan saja wanita itu untuk menangis. Ketika romo merasa sudah waktunya, ia pun bertanya, “apa sebenarnya yang terjadi padamu?” Ibu separuh baya itu pun mulai bertutur; “Romo, aku kini menjadi wanita yang paling berbahagia di dunia ini. Tahu mengapa? Sudah selama 17 tahun ini, rumah tanggaku bagaikan neraka di atas dunia. Hinaan, pengusiran, pukulan dan bahkan ancaman membunuh pun selalu ditujukan kepadaku setiap saat terjadi pertengkaran di antara kami...(Tangisannya kembali terdengar lagi untuk beberapa saat lamanya).

Kemudian ia melanjutkan, hidupku terasa bagaikana di atas bara api, atau di tempat kegelapan yang membuatku tidak bisa melihat terang dan merasakan kebahagiaan hidup selama 17 tahun ini. Suamiku memiliki wanita lain, dan segala sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga kami, akulah yang dipersalahkan. Kadang aku berpikir untuk kembali ke Jawa, kembali ke tempat dari mana aku terlahir dan datang, tapi aku sudah membuat keputusan untuk menjadi seorang pengikut Yesus melalui pernikahan dengan suamiku. Aku tahu, mengikuti Yesus itu tidak mudah, tapi sungguh tingkah laku suamiku adalah tantangan terberat bagiku untuk mendapatkan tempat di hati Yesus, serta memiliki-Nya sebagai Juru Selamatku.” Sang romo hanya terdiam mendengar penuturan kisah sedih wanita ini.

Tidak bersabar ingin mendengar kelanjutannya, sang romo pun bertanya; “Tapi kenapa sekarang Anda mengatakan bahwa Anda adalah wanita yang paling berbahagia di jagat ini?” Wanita itu pun menjawabnya dengan berapi-api; “Romo,… kemarin ketika aku sedang mengiris sayur dan bumbu lain di dapur, tiba-tiba dari belakangku terasa sentuhan tangan kekar yang melingkar di pinggangku. Aku tahu itulah tangan penuh kasih suamiku yang kurasakan 17 tahun yang lalu. Curiga karena pelukan semacam ini tidak pernah lagi kurasakan selama 17 tahun, aku pun mulai menggenggam erat pisau di tangan kananku sambil bersiap, dan memang aku sudah nekat bahwa kalau ada kekasaran lagi dari suami terhadapku, maka inilah akhir dan puncak dari kesabaranku sebagai seorang wanita, sebagai seorang istri. Biarlah deritaku terhapus oleh sebuah tikaman pisau dengan tanganku sendiri.” (Ia menarik nafas dalam-dalam seakan-akan masih ada kegetiran di hatinya).

Tiba-tiba… ada suara lembut terdengar di telingaku, suara yang pernah kudengar ketika masa berpacaran dulu dari mulut suamiku; “Sayang, aku meminta maaf untuk segala derita dan luka yang telah kugoreskan di hatimu selama 17 tahun ini. Ketabahanmu untuk menanggung segala bentuk kekasaran, kekerasan dan kejahatanku; kesabaranmu untuk tetap tinggal di rumah ini telah membuatku sadar bahwa selama ini aku telah hidup di dunia lain, dunia yang asing, dunia yang hanya memberi kepuasaan sesaat tanpa cinta yang tulus dan kebahagiaan yang murni. Semuanya itu semu…semuanya itu hanyalah kesia-siaan belaka. Aku sadar bahwa engkaulah kekasih jiwaku yang telah mengajariku tentang cinta, pengorbanan dan kasih sayang yang sejati. Terima kasih sayang….terima kasih istriku.” Alunan suaranya semakin terasa mengecil seperti seseorang yang sedang berbisik…pelukannyapun dipererat dan tetesan air matanya mulai berjatuhan membasahi bagian belakang tubuhku. Romo tahu apa yang terjadi selanjutnya; Tanpa sepata katapun aku berbalik dan membalas memeluknya erat-erat seperti saat-saat pertama kami bersama…”Aku menangis dan menangis…tangisan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, dan takan pernah akan kualami lagi mungkin sampai akhir hayatku. Tuhan telah mendengar jeritan hamba-Nya yang hina dina ini. Tuhan telah mengabulkan doa-doaku yang selalu kuhunjukkan kepada-Nya dengan air mata yang seakan telah mengering di akhir-akhir ini….Tuhan telah menilik hatiku yang remuk redam selama 17 tahun yang penuh sengsara ini.

Romo, aku sungguh bersyukur bahwa suamiku telah kembali kepadaku, kembali ke lubuk hatiku yang paling dalam. Sungguh, goresan luka selama 17 tahun ini telah terhapus oleh sebuah pelukan mesra dari suami. Tuhan telah memulihkan rumah tangga kami.” Sang romo pun kehilangan kata untuk mengomentari kisah sedih yang akhirnya sangat mengagumkan ini. Tuhan sungguh ada, datang dan telah menyelamatkan rumah tangga mereka. Sang Romo pun hanya berdoa dalam hatinya; “Tuhan, jagalah rumah tangga mereka sampai di akhir hidup mereka.”

Aku tidak memberi kesimpulan tentang kisah ini karena aku percaya bahwa setiap pembaca pasti akan menemukan nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya. Aku hanya berharap semoga kisah nyata ini memberi kekuatan bagi para pembaca (umat) di dalam Gereja Katolik, yang Satu, Kudus dan Apostolik.

Sumber : Gereja Katolik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar