Tulisan ini adalah tulisan berseri tentang sejarah perkembangan arsitektur kota Makassar yang dimulai dari akhir abad 17 hingga awal abad ke 20. Untuk tulisan pertama akan diceritakan tentang perkembangan kota Makassar di akhir abad 17 hingga awal abad ke 18. Tulisan ini akan hadir setiap hari Jumat. [Mks0KM]
Kota Makassar tumbuh menjadi kota metropolitan, salah satu kota
tersibuk di luar Jawa. Kota seluas kurang lebih 17,77 km2 daratan dan
termasuk 11 pulau di selat Makassar dengan luas perairan 100km2 ini
menjadi kota terpenting di bagian tengah dan timur wilayah Indonesia.
Ragam dinamika kota sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, utamanya
sejak kerajaan Gowa takluk pada pemerintah kolonial Belanda. Ketika
itulah perubahan arsitektur kota menjadi sangat pesat akibat peran
penting pemerintah kolonial Belanda.
Pertumbuhan Makassar sebagai kota, berlangsung dari akhir abad ke-17
hingga awal abad ke-20. Dibagi dalam beberapa periode yaitu; Periode
pertama, akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, Periode kedua, awal
abad ke-18 hingga akhir abad ke-19, dan Periode ketiga, akhir abad ke-19
hingga awal abad ke-20.
Pada tulisan pertama ini saya akan coba mengulas tentang pembangunan
kota pada akhir abad ke 17 hingga awal abad ke 18 yang ditandai dengan
perombakan benteng Fort Rotterdam dan hadirnya lapangan Karebosi
Sejarah Kota Makassar termasuk sejarah perkembangan kota dan arsitekturnya, dimulai dari Benteng Rotterdam (dulunya bernama Benteng Ujungpandang) yang
dipilih Belanda sebagai pusat pemerintahan, sejak jatuhnya Kerajaan
Gowa pada tahun 1667. Benteng Rotterdam mengalami perombakan
besar-besaran di tahun 1673.
Perombakan ini menyebabkan bentuk arsitektur lama Benteng Rotterdam
hilang dan gambar aslinya tidak ditemukan lagi. Benteng inilah yang
merupakan elemen pertama pembentukan kota kolonial Makassar .
Benteng Rotterdam menjadi bangunan termegah dan terindah di akhir abad ke-17. Benteng ini disebut dengan “Kasteel”
atau “Puri” karena fungsinya sebagai permukiman pejabat tinggi
Pemerintah Belanda. Di dalam benteng terdapat beberapa unit bangunan
antara lain gereja, gudang mesiu, kediaman gubernur, kantor gubernur,
balai kota, kediaman pendeta, kantor kepala bagian perdagangan, kantor
pusat perdagangan, barak militer, dan gudang.
Di sekeliling benteng terdapat parit keliling yang fungsinya untuk
memutus hubungan penduduk di dalam benteng dengan dunia luar dan
menghindari serangan penduduk lokal, dari arah utara, timur dan selatan.
Pada tahun 1730 jumlah penduduk Makassar tercatat sebanyak 4.985
orang, 2915 diantaranya terdiri dari budak, 271 pegawai VOC, 351 “burgers” (Kristen non-kompeni atau bagian dari orang-orang yang nenek moyangnya Eropa dan campuran)
, 364 Bugis-Makassar, 310 Cina, 10 “Moor” dan Kodjas (India), 137 orang
Buton, 68 orang Ambon dan Banda dan kelompok orang Melayu sekitar 577
orang (Sutherland, 2004; 28). Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu Makassar merupakan kota yang majemuk.
Sekitar abad ke-17, di Kota Makassar telah terbentuk struktur fisik kota, dengan
jalan-jalan lurus, sejajar dengan garis bibir pantai dan membujur arah
utara-selatan. Empat jalan utama yang membujur, paling barat adalah Cinastraat (Passerstraat) dan sekarang menjadi Jalan Nusantara, Templestraat (sekarang Jalan Sulawesi), Middlestraat (sekarang Jalan Bonerate) dan Burgherstraat (sekarang Jalan Jampea).
Di Permukiman Vlaardingen, terdapat jalan utama yang melintang timur-barat yang disebut dengan Hoogepad (berarti
jalan tinggi, yang dimaksud adalah istilah Belanda untuk daerah atau
tempat-tempat yang bergengsi dibanding tempat lain dalam sebuah kota) dan sekarang bernama Jalan Jendral Ahmad Yani.
Dahulu di ujung timur jalan ini, dibangun benteng kecil yang disebut dengan Vredenburg,
untuk mengawasi gangguan dari arah timur. Keberadaan Benteng Vredenburg
membuktikan bahwa keadaan Kota Makassar belum aman sepenuhnya.
Terkadang masih ada perlawanan dan serangan dari Gowa atau penduduk yang
anti Belanda. Benteng Vredenburg dikelilingi parit yang berasal dari
kanal yang terhubung langsung dengan laut. Perkembangan penting yang
terjadi pada masa abad ke-17 adalah terbentuknya poros jalan dari
Benteng Vredenburg ke arah selatan, Gowa. Di atas lahan bekas Benteng
Vredenburg kini berdiri gedung Kantor Bank Negara Indonesia.
Hingga sekarang kawasan bekas Vlaardingen maupun Kampung Melayu sangat padat. Vlaardingen
lama, sekarang menjadi ikon daerah perdagangan dan dikenal oleh
masyarakat Makassar sebagai wilayah Pecinan. Beberapa bangunan yang
mencirikan pola Medieval masih dapat disaksikan, namun tidak sedikit pula bangunan telah hancur seperti Bioskop Jumpandang yang terletak di Jalan Bali.
Perkembangan selanjutnya terjadi di sebelah selatan Benteng Rotterdam
yang disebut dengan Kampung Baru. Sekarang wilayahnya termasuk Jalan
Somba Opu, Jalan Pattimura, Jalan Samiun, Jalan Wahab Tarruf, Jalan Andi
Makkasau, Jalan Bau Massepe dan Jalan Haji Bora. Bagian ini berkembang
belakangan oleh karena itu dinamakan Kampung Baru. Kampung Baru dihuni
oleh orang-orang Asia yang bekerja sama dengan kompeni beragama kristen,
atau lebih dikenal dengan sebutan Mardijkers atau “Maradekayya”, sebutan masyarakat lokal.
Pengelompokan penduduk pada masa akhir abad ke-17 hingga awal abad
ke-18 sangat jelas. Egosentris suku, bangsa atau kepentingan sosial
ekonomi membentuk mosaik, kelompok-kelompok penduduk dan pola ruang Kota
Makassar (Anonim, 1992b; 19). Kondisi ini hingga sekarang dapat diamati
terutama dari nama-nama kampungnya (toponim) seperti Kampung Melayu,
Kampung Wajo, Kampung Baru dan Maradekayya.
@Nandarkeo – pemerhati sejarah
Sumber : Makassar Nol Kilometer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar