Siang
hari, panas masih terik. Saya masih menyusuri jalan Irian dan
sekitarnya, berputar-putar dari jalan sempit kampung cina. Pun saya
tersesat di jalan Nusakambangan bertemu dengan Eric Salimin-Liem Hoek
Jin. Ditempatnya ia bercerita pada masa penjajahan, tentang ketokohan
Mayor Thoeng di Makassar.
Selain Mayor, mereka yang dibunuh adalah anak sang Mayor bernama Thoeng Kok Sang, Thoeng Kok Tjien, Thoeng Kok Tjeng, dan Thoeng Kok Leang. Satu menantu Mayor Thoeng Tan Hong Teng bersama dua bersaudara Lie ikut dibunuh tentara Jepang.
Sementara tiga istri sang Mayor berhasil kabur. "Hingga kini, kisah Mayor Thoeng terus bergerilya dari mulut ke mulut," kata Liem. Liem masih keturunan marga Thoeng, dari garis ibunya. "Cuma biasanya kalau dari garis ibu, Fam atau She kita sudah hilang," ucapnya. Semakin saya penasaran, semakin menarik perburuan saya tentang keluarga Thoeng ini. Setelah berada di kediaman Liem Hoek Jin, berbekal rekomendasinya, saya disarankan menghubungi keturunan langsung dari Mayor Thoeng bernama Thoeng Boeng Kian atau Harry Kumala.
"Siapa yang tak kenal dengan keluarga kesohor Thung. Oke sebentar kita ketemu di Jalan penghibur," singkatnya.
Marga Thoeng berasal dari Provinsi Hokkiang di Kota Sanchiong Desa Pangli. "Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa sampai menyebar," kata Harry Kumala cicit Mayor Thoeng dari Istri kedua. Kumala, nama belakang Harry adalah marga dari keluarga Mala yang konon memiliki garis keturunan Melayu. "Nenek buyut saya itu, masih keturunan bangsawan melayu yang diambil istri oleh Mayor," kata Harry yang memiliki nama Tionghoa, Thoeng Boang Kian.
Setelah Jepang keluar dari Indonesia, dan memasuki masa transisi pada Pemerintahan Soeharto. Keluarga Thoeng dari keturunan Mayor Thoeng Liong Hoei menyebar hingga ke luar negeri. Sejumlah keluarga mengubah nama mereka, sebab pada masa itu nama dan segala macam yang berbau Tionghoa dilarang oleh pemerintah.
Harry Kumala sempat menelusuri garis keturunan Thoeng hingga ke negeri Tiongkok tahun lalu. "Disana memang ada rumah induk, keluarga Thoeng. Mereka ini adalah memiliki garis keturunan dari raja Dinasti Shang. Mayor Thoeng, adalah Mayor pertama di Makassar. Ia diberi gelar langsung oleh ratu Belanda pada masa itu.
Ayahnya bernama Thoeng Tiong Pie juga Kapitan pertama di Makassar. Namun, kesohoran Mayor Thoeng lebih banyak terdegar dibanding ayahnya. "Bahkan gubernur Hindia Belanda di Jakarta takut sama Mayor. Karena Mayor punya tongkat yang ujungnya bertanda cap pemberian dari Ratu," kata dia. Jika sudah begitu, kata Harry, terkadang Mayor Thoeng justru menghukum tentara Belanda yang nakal. "Tentara Belanda bisa disetrupnya, dicambuknya di depan kita-kita," tambahnya.
Oleh pemerintah hindia belanda, ada kesepakatan dimana sang Mayor berhak mengatur warganya yang berasal dari garis Tionghoa. "Mayor itu, semacam kepalanya orang tionghoa, untuk memudahkan pemberian upeti atau menarik pajak kepada pemerintah Belanda masa itu," ucap Harry.
Sebagai tokoh dalam masyarakat Tionghoa pendatang di makassar. Mayor Thoeng hampir menguasai sebagian wilayah dagang di Utara Makassar. "Setelah Jepang terusir, anak cicitnya menyebar di Makassar dan di luar negeri. Mereka umumnya jadi pebisnis yang masih bertahan hingga sekarang," kata Liem Hoek Jin.
Adalagi tokoh-tokoh pejuang Tionghoa keturunan Thoeng di Makassar pada jaman penjajahan Belanda. Sebut saja Thoeng Boen Tjiang, Thoeng Wan Ting, dan Thoeng Tiong Too. Mereka ini adalah tokoh pejuang yang diberi gelar pahlawan oleh Kantor Legiun Veteran Sulawesi Selatan. “Banyak memang cerita, bahwa warga Tionghoa berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda maupun Jepang melalui cara sembunyi-sembunyi,” jelas Shaifuddin, peminat kebudayaan pecinan di Makassar. “Perjuangan mereka misalnya menyembunyikan para pejuang indonesia di rumah dagang warga Tionghoa. Termasuk saat para pejuang Indonesia melakukan pertemuan-pertemuan tertutup.” Shaifuddin menyebutkan, tempat persembunyian yang dahulu digunakan warga Tionghoa membantu pejuang Indonesia, salah satunya berada di Jalan Irian yang lokasinya menjadi pabrik es.
Di Makassar, tepatnya di kampung cina masih ada peninggalan kediaman Mayor Thoeng. Informasi Harry Kumala saya telusur hingga sampai ke kediaman pertama Mayor Thoeng yang terletak di Jalan Bacan Nomor 5. Disini, saya bertemu keluarga Tunger, cucu langsung keluarga Mayor Thoeng. "Disinilah kediaman sang Mayor. Bahkan saya yakin, ini adalah rumah bapaknya yang kapitan. Konon khabarnya ia dulu dilahirkan disini," kata Freddy Tunger atau Thoeng Thiong Hoei. ia menyarankan saya menuju rumah paling ujung dari Mayor Thoeng.
Rumah ini, telah dibagi menjadi tiga petak yang luas. "Tapi dari tampilan luarnya kami tak merubahnya, atas pesan papa'," katanya. Kharismatik, tegas, itulah kesan pertama saya saat melihat langsung lukisan sang Mayor berukuran 3x1 meter ini.
Sulit membayangkan ia tewas karena menolak bekerja sama dengan tentara Jepang. Lebih sulit lagi membayangkan saat ia tak dikenang sebagai tokoh di Makassar. Justru di negeri Belanda, peninggalan dan silsilah Mayor Thoeng terpelihara dengan baik. "Barangkali karena pemerintah disana lebih peduli. Sebab, pemberian Mayor itu, tak lepas dari keluarga kerajaan disana," ucap Freddy.
Bisa dibilang Marga Thoeng banyak berjasa di Makassar. Selain keturunan Mayor Thoeng, adalagi keluarga Thoeng lain yang berjasa. Keluarga ini berjasa menyiarkan agama islam di Makassar. Namanya, Thoen Chen Ting atau terkenal dengan sebutan Haji Baba Guru. Putranya bernama Thoeng Tian Kiem atau Haji Faishal Thung. Dia adalah seorang pengelola pertama Stadion Mattoangin Makassar, sekaligus pendiri dan ketua pertama Pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa tahun 1970-an.
"Sejak Indonesia di bawah era Soeharto bapak mengganti namanya menjadi Haji Faisal Thung," kata putri perempuan Thoeng Tian Kim, Lusie Faisal Thung. "Kakek saya, bisa dibilang warga keturunan penganut agama Islam pertama di Makassar. Dahulu, sehari-harinya ia mengajar mengaji di Jalan Muchtar Luthfi yang terkenal dengan kampung Maluku," ungkapnya.
Paul Tan yang masih keluarga jauh Haji Baba Guru mengatakan, Marga Thoeng tidak hanya menyebar di Makassar. Haji Baba Guru misalnya, ia menyebutkan, tiba pertamakali di kabupaten Pangkep. “Mereka menyerap Agama Islam disana, lalu menyebarkannya ke Makassar saat ada aturan belanda yang mewajibkan setiap pendatang ditempatkan di utara kota Makassar,” katanya.
Tentu masih banyak keturunan Thoeng yang lain di Makassar ini, yang tidak terlacak lagi. Kalau mau melihat langsung silsilah keluarga Thoeng, silahkan mampir ke Yayasan atau klenteng marga Thoeng di Jalan Sulawesi. Ya, saya juga masih mencari keluarga kakek saya dari keluarga Haji Faisal Thung-Thoeng Thian Kiem. Ia adalah anak dari Thoeng Chen Ting, penyebar agama islam di kampung Maluku.
"Kami lama diam, karena kami masih ada rasa warga keturunan, warga kelas dua..?" tanya mereka yang saya temui dan puluhan tahun terdiam berbicara Mator Thoeng dan Tionghoa di Makassar..
*****
Sekumpulan
tentara Jepang Tokketai memburu keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei.
Mata-mata menyebut, Mayor Thoeng telah melarikan diri dari kediamannya
di Jalan Bacan No 5. Tahun 1942, di perbatasan limbung Makassar, Mayor
Thoeng Liong Hoei bersama tujuh anggota keluarganya dibunuh tentara
Jepang. Selain Mayor, mereka yang dibunuh adalah anak sang Mayor bernama Thoeng Kok Sang, Thoeng Kok Tjien, Thoeng Kok Tjeng, dan Thoeng Kok Leang. Satu menantu Mayor Thoeng Tan Hong Teng bersama dua bersaudara Lie ikut dibunuh tentara Jepang.
Sementara tiga istri sang Mayor berhasil kabur. "Hingga kini, kisah Mayor Thoeng terus bergerilya dari mulut ke mulut," kata Liem. Liem masih keturunan marga Thoeng, dari garis ibunya. "Cuma biasanya kalau dari garis ibu, Fam atau She kita sudah hilang," ucapnya. Semakin saya penasaran, semakin menarik perburuan saya tentang keluarga Thoeng ini. Setelah berada di kediaman Liem Hoek Jin, berbekal rekomendasinya, saya disarankan menghubungi keturunan langsung dari Mayor Thoeng bernama Thoeng Boeng Kian atau Harry Kumala.
"Siapa yang tak kenal dengan keluarga kesohor Thung. Oke sebentar kita ketemu di Jalan penghibur," singkatnya.
Marga Thoeng berasal dari Provinsi Hokkiang di Kota Sanchiong Desa Pangli. "Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa sampai menyebar," kata Harry Kumala cicit Mayor Thoeng dari Istri kedua. Kumala, nama belakang Harry adalah marga dari keluarga Mala yang konon memiliki garis keturunan Melayu. "Nenek buyut saya itu, masih keturunan bangsawan melayu yang diambil istri oleh Mayor," kata Harry yang memiliki nama Tionghoa, Thoeng Boang Kian.
Setelah Jepang keluar dari Indonesia, dan memasuki masa transisi pada Pemerintahan Soeharto. Keluarga Thoeng dari keturunan Mayor Thoeng Liong Hoei menyebar hingga ke luar negeri. Sejumlah keluarga mengubah nama mereka, sebab pada masa itu nama dan segala macam yang berbau Tionghoa dilarang oleh pemerintah.
Harry Kumala sempat menelusuri garis keturunan Thoeng hingga ke negeri Tiongkok tahun lalu. "Disana memang ada rumah induk, keluarga Thoeng. Mereka ini adalah memiliki garis keturunan dari raja Dinasti Shang. Mayor Thoeng, adalah Mayor pertama di Makassar. Ia diberi gelar langsung oleh ratu Belanda pada masa itu.
Ayahnya bernama Thoeng Tiong Pie juga Kapitan pertama di Makassar. Namun, kesohoran Mayor Thoeng lebih banyak terdegar dibanding ayahnya. "Bahkan gubernur Hindia Belanda di Jakarta takut sama Mayor. Karena Mayor punya tongkat yang ujungnya bertanda cap pemberian dari Ratu," kata dia. Jika sudah begitu, kata Harry, terkadang Mayor Thoeng justru menghukum tentara Belanda yang nakal. "Tentara Belanda bisa disetrupnya, dicambuknya di depan kita-kita," tambahnya.
Oleh pemerintah hindia belanda, ada kesepakatan dimana sang Mayor berhak mengatur warganya yang berasal dari garis Tionghoa. "Mayor itu, semacam kepalanya orang tionghoa, untuk memudahkan pemberian upeti atau menarik pajak kepada pemerintah Belanda masa itu," ucap Harry.
Sebagai tokoh dalam masyarakat Tionghoa pendatang di makassar. Mayor Thoeng hampir menguasai sebagian wilayah dagang di Utara Makassar. "Setelah Jepang terusir, anak cicitnya menyebar di Makassar dan di luar negeri. Mereka umumnya jadi pebisnis yang masih bertahan hingga sekarang," kata Liem Hoek Jin.
Adalagi tokoh-tokoh pejuang Tionghoa keturunan Thoeng di Makassar pada jaman penjajahan Belanda. Sebut saja Thoeng Boen Tjiang, Thoeng Wan Ting, dan Thoeng Tiong Too. Mereka ini adalah tokoh pejuang yang diberi gelar pahlawan oleh Kantor Legiun Veteran Sulawesi Selatan. “Banyak memang cerita, bahwa warga Tionghoa berjuang mempertahankan kemerdekaan dari Belanda maupun Jepang melalui cara sembunyi-sembunyi,” jelas Shaifuddin, peminat kebudayaan pecinan di Makassar. “Perjuangan mereka misalnya menyembunyikan para pejuang indonesia di rumah dagang warga Tionghoa. Termasuk saat para pejuang Indonesia melakukan pertemuan-pertemuan tertutup.” Shaifuddin menyebutkan, tempat persembunyian yang dahulu digunakan warga Tionghoa membantu pejuang Indonesia, salah satunya berada di Jalan Irian yang lokasinya menjadi pabrik es.
Di Makassar, tepatnya di kampung cina masih ada peninggalan kediaman Mayor Thoeng. Informasi Harry Kumala saya telusur hingga sampai ke kediaman pertama Mayor Thoeng yang terletak di Jalan Bacan Nomor 5. Disini, saya bertemu keluarga Tunger, cucu langsung keluarga Mayor Thoeng. "Disinilah kediaman sang Mayor. Bahkan saya yakin, ini adalah rumah bapaknya yang kapitan. Konon khabarnya ia dulu dilahirkan disini," kata Freddy Tunger atau Thoeng Thiong Hoei. ia menyarankan saya menuju rumah paling ujung dari Mayor Thoeng.
Rumah ini, telah dibagi menjadi tiga petak yang luas. "Tapi dari tampilan luarnya kami tak merubahnya, atas pesan papa'," katanya. Kharismatik, tegas, itulah kesan pertama saya saat melihat langsung lukisan sang Mayor berukuran 3x1 meter ini.
Sulit membayangkan ia tewas karena menolak bekerja sama dengan tentara Jepang. Lebih sulit lagi membayangkan saat ia tak dikenang sebagai tokoh di Makassar. Justru di negeri Belanda, peninggalan dan silsilah Mayor Thoeng terpelihara dengan baik. "Barangkali karena pemerintah disana lebih peduli. Sebab, pemberian Mayor itu, tak lepas dari keluarga kerajaan disana," ucap Freddy.
Bisa dibilang Marga Thoeng banyak berjasa di Makassar. Selain keturunan Mayor Thoeng, adalagi keluarga Thoeng lain yang berjasa. Keluarga ini berjasa menyiarkan agama islam di Makassar. Namanya, Thoen Chen Ting atau terkenal dengan sebutan Haji Baba Guru. Putranya bernama Thoeng Tian Kiem atau Haji Faishal Thung. Dia adalah seorang pengelola pertama Stadion Mattoangin Makassar, sekaligus pendiri dan ketua pertama Pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa tahun 1970-an.
"Sejak Indonesia di bawah era Soeharto bapak mengganti namanya menjadi Haji Faisal Thung," kata putri perempuan Thoeng Tian Kim, Lusie Faisal Thung. "Kakek saya, bisa dibilang warga keturunan penganut agama Islam pertama di Makassar. Dahulu, sehari-harinya ia mengajar mengaji di Jalan Muchtar Luthfi yang terkenal dengan kampung Maluku," ungkapnya.
Paul Tan yang masih keluarga jauh Haji Baba Guru mengatakan, Marga Thoeng tidak hanya menyebar di Makassar. Haji Baba Guru misalnya, ia menyebutkan, tiba pertamakali di kabupaten Pangkep. “Mereka menyerap Agama Islam disana, lalu menyebarkannya ke Makassar saat ada aturan belanda yang mewajibkan setiap pendatang ditempatkan di utara kota Makassar,” katanya.
Tentu masih banyak keturunan Thoeng yang lain di Makassar ini, yang tidak terlacak lagi. Kalau mau melihat langsung silsilah keluarga Thoeng, silahkan mampir ke Yayasan atau klenteng marga Thoeng di Jalan Sulawesi. Ya, saya juga masih mencari keluarga kakek saya dari keluarga Haji Faisal Thung-Thoeng Thian Kiem. Ia adalah anak dari Thoeng Chen Ting, penyebar agama islam di kampung Maluku.
"Kami lama diam, karena kami masih ada rasa warga keturunan, warga kelas dua..?" tanya mereka yang saya temui dan puluhan tahun terdiam berbicara Mator Thoeng dan Tionghoa di Makassar..
Menelusuri Para Pejuang Tionghoa di Makassar
Di Makassar, ada sebuah Makam tua tak bertuan di Blok F, Taman Makam Pahlawan, Jalan Urip Sumoharjo. Makam ini, hampir tak pernah lagi dikunjungi kerabat keluarga. Letaknya satu kompleks dengan makam pejuang yang melawan Belanda di masa Westerling. Letaknya di sebelah kiri pintu utama Taman Makam Pahlawan (TMP). Di batu nisannya, masih tertera nama S. Kok Tjoang.
Nama yang tertera dari ukiran batu, masih begitu jelas terbaca. Begitu juga dengan tahun kematiannya. "GR 3-1-1-1947. S. Kok Tjoang. 121. Lapris," begitu, tulisan yang tertera di batu nisan. S. Kok Tjoang. Ia diperkirakan gugur saat melawan tentara Westerling. Ia adalah salah satu pejuang yang gugur di tahun 1947, masa di mana penjajah belanda mulai memasuki Makassar kali kedua, setelah Jepang menyerah.
Selain S. Kok Tjoang, adalagi satu makam Tionghoa bernama Liem Kien San. Ia adalah veteran perang berpangkat Kapten Infanteri yang meninggal di tahun 1976. Menurut Jumain, Koordinator pengelola Taman Makam Pahlawan, hanya ada dua makam milik Tionghoa yang dimakamkan di TMP ini. "Hanya dua saja memang. Satu pejuang yang gugur, satunya lagi veteran perang," katanya.
Jumain tak ingat persis kapan terakhir kali, kedua makam itu dikunjungi oleh kerabat keluarganya. "Kalau makam S. Kok Tjoang saya hampir tak pernah melihat ada kerabat yang mengunjunginya. Beda dengan makam Liem Kien San," katanya. Jumain hanya mengingat, Liem Kien San, dahulu adalah seorang pelaut yang ditarik menjadi pasukan bersenjata Skodam. "Kalau ceritanya seperti itu. Makam ini terakhir kalau tak salah masih dikunjungi keluarganya sekitar setahun lalu," katanya.
Di jaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebenarnya, sudah banyak masyarakat Tionghoa yang berpartisipasi. Di masa itu, perjuangan juga masih dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Menurut Eric Salimin, tokoh Tionghoa Makassar, warga Tionghoa di masa itu ada yang melakukan perjuangan secara terang-terangan, maupun dengan cara sembunyi. Mereka misalnya, membantu penjuang Indonesia melalui persediaan logistik atau menyelundupkan para pejuang dari rumah ke rumah.
"Perjuangan mereka ada, meskipun itu tidak besar tapi saya kira lumayan penting," katanya. Perjuangan kecil itu dilakukan, kata Eric, mengingat besarnya resiko yang harus ditranggung masyarakat Tionghoa di masa itu. "Kalau ketahuan kan, hukumannya bisa gawat," katanya.
Yongris, salah satu tokoh muda Tionghoa juga berpendapat sama. "Kita banyak pejuang Tionghoa yang sebenarnya juga terlupakan. Yang paling terkenal belakangan ada nama Liem Kien San," kata Yongris, sembari mengatakan, keturunannya masih ada di Makassar, sampai sekarang. "Ada, saya masih ingat salah satu keturunannya itu bernama Yulie, yang punya rumah makan Panorama," ucapnya.
Selain Liem Kien San, dan S. Kok Tjoang. Nama-nama dari Marga Thoeng juga sempat tercatat sebagai veteran pejuang adalah, Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton), Thoeng Wan Ting (Fatimah), Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru) dan Thung Kang Sang. Thoeng Boen Tjiang atau Musa Edenton, keturunannya masih sempat terlacak. "Kalau Edenton itu, keturunannya seorang Dokter, salah satunya bernama James Edenton berpraktek di Rumah Sakit hikmah," kata Hary Kumala, salah satu pengurus yayasang Marga Thoeng di Jalan Sulawesi.
Marga Thoeng Yang Menjadi Pejuang | NPV/No. Identitas VeteranDi Makassar, ada sebuah Makam tua tak bertuan di Blok F, Taman Makam Pahlawan, Jalan Urip Sumoharjo. Makam ini, hampir tak pernah lagi dikunjungi kerabat keluarga. Letaknya satu kompleks dengan makam pejuang yang melawan Belanda di masa Westerling. Letaknya di sebelah kiri pintu utama Taman Makam Pahlawan (TMP). Di batu nisannya, masih tertera nama S. Kok Tjoang.
Nama yang tertera dari ukiran batu, masih begitu jelas terbaca. Begitu juga dengan tahun kematiannya. "GR 3-1-1-1947. S. Kok Tjoang. 121. Lapris," begitu, tulisan yang tertera di batu nisan. S. Kok Tjoang. Ia diperkirakan gugur saat melawan tentara Westerling. Ia adalah salah satu pejuang yang gugur di tahun 1947, masa di mana penjajah belanda mulai memasuki Makassar kali kedua, setelah Jepang menyerah.
Selain S. Kok Tjoang, adalagi satu makam Tionghoa bernama Liem Kien San. Ia adalah veteran perang berpangkat Kapten Infanteri yang meninggal di tahun 1976. Menurut Jumain, Koordinator pengelola Taman Makam Pahlawan, hanya ada dua makam milik Tionghoa yang dimakamkan di TMP ini. "Hanya dua saja memang. Satu pejuang yang gugur, satunya lagi veteran perang," katanya.
Jumain tak ingat persis kapan terakhir kali, kedua makam itu dikunjungi oleh kerabat keluarganya. "Kalau makam S. Kok Tjoang saya hampir tak pernah melihat ada kerabat yang mengunjunginya. Beda dengan makam Liem Kien San," katanya. Jumain hanya mengingat, Liem Kien San, dahulu adalah seorang pelaut yang ditarik menjadi pasukan bersenjata Skodam. "Kalau ceritanya seperti itu. Makam ini terakhir kalau tak salah masih dikunjungi keluarganya sekitar setahun lalu," katanya.
Di jaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebenarnya, sudah banyak masyarakat Tionghoa yang berpartisipasi. Di masa itu, perjuangan juga masih dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Menurut Eric Salimin, tokoh Tionghoa Makassar, warga Tionghoa di masa itu ada yang melakukan perjuangan secara terang-terangan, maupun dengan cara sembunyi. Mereka misalnya, membantu penjuang Indonesia melalui persediaan logistik atau menyelundupkan para pejuang dari rumah ke rumah.
"Perjuangan mereka ada, meskipun itu tidak besar tapi saya kira lumayan penting," katanya. Perjuangan kecil itu dilakukan, kata Eric, mengingat besarnya resiko yang harus ditranggung masyarakat Tionghoa di masa itu. "Kalau ketahuan kan, hukumannya bisa gawat," katanya.
Yongris, salah satu tokoh muda Tionghoa juga berpendapat sama. "Kita banyak pejuang Tionghoa yang sebenarnya juga terlupakan. Yang paling terkenal belakangan ada nama Liem Kien San," kata Yongris, sembari mengatakan, keturunannya masih ada di Makassar, sampai sekarang. "Ada, saya masih ingat salah satu keturunannya itu bernama Yulie, yang punya rumah makan Panorama," ucapnya.
Selain Liem Kien San, dan S. Kok Tjoang. Nama-nama dari Marga Thoeng juga sempat tercatat sebagai veteran pejuang adalah, Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton), Thoeng Wan Ting (Fatimah), Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru) dan Thung Kang Sang. Thoeng Boen Tjiang atau Musa Edenton, keturunannya masih sempat terlacak. "Kalau Edenton itu, keturunannya seorang Dokter, salah satunya bernama James Edenton berpraktek di Rumah Sakit hikmah," kata Hary Kumala, salah satu pengurus yayasang Marga Thoeng di Jalan Sulawesi.
Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton) | 17.063.953
Thoeng Wan Ting (Fatimah) | 17.039.495/ 31 Juli 1982
Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru) | 17.038.836/ 31 Juli 1982
Thung Kan Sang | 17.038.722/ 31 Agustus 1989
Sumber: :..bantalkepala
Sejarah yg baik ternyata , tapi sayang di keluarga marga itu selesai di papa dan tidak di lanjuykan lagi ke anak laki2nya :)
BalasHapus