Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana
Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan
identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse
yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti
semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau
kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Pengertian Siri na Pacce
Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.
Pengertian Siri na Pacce
Laica Marzuki (1995) pernah menyebut dalam disertasinya bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (Bahasa Makassar) atau Siri’ na Pesse’
(Bahasa Bugis) adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari
karakter orang Bugis-Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan
Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi artinya dia menempuh
kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat
kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e ( seperti binatang ). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup ).
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain
Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam (dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain
.
Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini
mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan
serta disegani. Paccemerupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung
beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras.
Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul ”. Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce, jadi Siri’
skopnya dalam skala intern, sedang pacce bersifat intern dan ekstern,
sehingga berlaku untuk semua orang.
Asal Mula Budaya Siri Na Pacce
Asal Mula Budaya Siri Na Pacce
Perkawinan Bugis-Makassar |
Menurut Iwata (Peneliti dari Jepang), pada mulanya, siri’ na pacce
merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari. Yakni jika sepasang pria
dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan
siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya
disebut tumasiri’, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria
secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Selama
belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak
diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin
larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali
membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a’bajik.
Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri’ tetap melekat bagi
keluarga perempuan. Namun jika a’bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan
kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang
mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum
adat.
Dari aspek ontologi (wujud) siri’ na pacce mempunyai relevansi kuat
dengan pandangan islam dalam kerangka spiritualitas, dimana kekuatan
jiwa dapat teraktulkan melalui penaklukan jiwa atas tubuh. sedemikian
rupa, siri’ na pacce merupakan emanasi dari islam yang berbusana
bugis-makassar yang lahir dari rahim akulturasi islam dan
bugis-makassar.
Inti budaya siri’ na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi,
mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri’ na
pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar,” Dengan adanya
falsafah dan ideologi Siri’ na pacce , maka keterikatan dan
kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun
dengan suku yang lain. Konsep Siri’ na Pacce bukan hanya di kenal oleh
kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan
Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang
berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam
berinteraksi.
Jenis-jenis Siri’
Jenis-jenis Siri’
Badik |
Zainal Abidin Farid (1983) membagi siri, dalam dua jenis:
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri(mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Pertama adalah Siri’ Nipakasiri’, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siri’nya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut mate siri(mati harkat dan martabatnya sebagai manusia).
Untuk orang bugis makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang
lebih tinggi daripada menjaga Siri’nya, dan kalau mereka tersinggung
atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan
perkelahian untuk memulihkan Siri’nya dari pada hidup tanpa Siri’.
Mereka terkenal dimana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi
kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan
derajatnya. Meninggal karena Siri’ disebut Mate nigollai, mate
nisantangngi artinya mati diberi gula dan santan atau mati secara manis
dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan
karena Siri’ melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula
lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya
dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan
perkelahian selain daripada Siri’ dianggap semacam kotoran jiwa yang
dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Siri’
itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus
dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orangtuanya kurang Siri’nya.
Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu
sopan santun semua kurang Siri’nya”.
Yang kedua adalah : Siri’ Masiri’, yaitu pandangan hidup yang
bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu
prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi
Siri’ itu sendiri, demi Siri’ keluarga dan kelompok. Ada ungkapan bugis
“Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako”
(Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi berjuanglah
untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan
Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera
Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang di merantau ke Pahang dan dikenal
dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad XVIII karena masalah
Siri’, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara.
Nilai-nilai Siri’ na Pacce
Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis – Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan meliputi (1) prototipe watak orang Makassar yang terdiri atas (a) reaktif (b) militan, (c) optimis, (d) konsisten (e) loyal, (f) pemberani, dan (g) konstruktif.
Nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi (1) teguh pendirian, (2) setia, (3) tahu diri, (4) berkata jujur (5) bijak, (6) merendah, (7) ungkapan sopan untuk sang gadis, (8) cinta kepada Ibu, dan (9) empati.
Nilai estetis siri na pacce meliputi (1) nilai estetis siri’ na pacce alam non insani terdiri atas (a) benda alam tak bernyawa, (b) benda alam nabati, (c) alam hewani (2) nilai estetis siri’ na pacce alam insani.
Etos Siri’ na Pacce
Nilai-nilai Siri’ na Pacce
Nilai filosofis siri’ na pacce merepresentasikan pandangan hidup orang Bugis – Makassar mengenai berbagai persoalan kehidupan meliputi (1) prototipe watak orang Makassar yang terdiri atas (a) reaktif (b) militan, (c) optimis, (d) konsisten (e) loyal, (f) pemberani, dan (g) konstruktif.
Nilai etis siri’ na pacce terdapat nilai-nilai etis meliputi (1) teguh pendirian, (2) setia, (3) tahu diri, (4) berkata jujur (5) bijak, (6) merendah, (7) ungkapan sopan untuk sang gadis, (8) cinta kepada Ibu, dan (9) empati.
Nilai estetis siri na pacce meliputi (1) nilai estetis siri’ na pacce alam non insani terdiri atas (a) benda alam tak bernyawa, (b) benda alam nabati, (c) alam hewani (2) nilai estetis siri’ na pacce alam insani.
Etos Siri’ na Pacce
Sultan Hasanuddin |
Apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang
pemberani dan tangguh? Atau apa yang membuat orang Bugis-Makassar
dikenal sebagai orang yang sukses di daerah sendiri dan daerah yang
didatanganginya? Jawabanya adalah etos siri’ na pace. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja
Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan
penjajah Belanda. Walaupun pada akhirnya beliau harus menyerah melalui
Perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Kerajaan Gowa saat itu.
Syech Yusuf |
Di era modern dikenal Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau adalah
presiden Republik Indonesia ke-3. Beliau merupakan satu-satunya presiden
yang berasal dari luar pulau Jawa. Selain dikenal sebagai presiden RI
ke-3, beliau juga dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius. Beliau
dikenal sebagai ilmuwan dibidang konstruksi pesawat terbang dan teorinya
masih digunakan hingga saat ini.
Ada juga Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah adalah wakil presiden Republik Indonesia ke-10. Beliau juga dikenal sebagai tokoh perdamaian konflik di Poso dan Aceh. Dengan gaya kepemimpinan khas orang Bugis-Makassar, beliau sukses dalam karir politik serta usaha. Beliau adalah pemilik perusahaan besar Hadji Kalla Group
Ada juga Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah adalah wakil presiden Republik Indonesia ke-10. Beliau juga dikenal sebagai tokoh perdamaian konflik di Poso dan Aceh. Dengan gaya kepemimpinan khas orang Bugis-Makassar, beliau sukses dalam karir politik serta usaha. Beliau adalah pemilik perusahaan besar Hadji Kalla Group
Siri’ na Pacce dan Bushido
Ajaran moral Siri’ punya suku Bugis dan Makassar mirip dengan
semangat Bushido kaum Samurai Jepang. Bushido adalah etika moral bagi
kaum samurai. Berasal dari zaman Kamakura (1185-1333), terus berkembang
mencapai zaman Edo (1603-1867), bushido menekankan kesetiaan, keadilan,
rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang,
kehormatan, dll. Aspek spiritual sangat dominan dalam falsafah bushido.
Meski memang menekankan “kemenangan terhadap pihak lawan”, hal itu
tidaklah berarti menang dengan kekuatan fisik. Dalam semangat bushido,
seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna
menaklukkan dirinya sendiri, karena dengan menaklukkan diri sendirilah
orang baru dapat menaklukkan orang lain.
Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual.Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.
Ada banyak persamaan antara semangat ksatria Eropa masa lalu dengan semangat bushido, karena sama-sama mementingkan keberanian, rasa malu, kehormatan, dll. Perbedaannya terletak pada kesetiaan. Hubungan antara seorang satria Eropa dengan bawahan adalah berdasarkan perjanjian sedangkan dalam bushido adalah semata-mata berkat kesetiaan.
Orang-orang di luar Jepang kerap mengasosiasikan semangat bushido dengan praktek seppuku yang tidak pernah dilakukan lagi di zaman modern ini. Seppuku adalah ritual bunuh diri dengan merobek perut sendiri dengan sebilah pedang sebagai bukti rasa tanggung jawab. Mengapa perut? Di masa-masa feodal dulu di Jepang, para pendekar perang menganggap perut sebagai tempat bermukimnya jiwa. Jadi pada waktu mereka harus membuktikan rasa tanggung jawab sebagai pendekar atas perbuatannya, mereka lebih memilih melakukan seppuku. Di jaman Edo, seppuku bahkan merupakan bentuk hukuman mati bagi anggota kelas samurai. Yang bersangkutan melakukan sendiri seppuku, untuk itu disediakan seseorang guna membantu menuntaskan kematian tersebut agar penderitaan tidak berlarut-larut. Dewasa ini seppuku sama sekali tidak dipraktekkan lagi. Kasus terakhir tercatat pada tahun 1970 ketika seorang sastrawan besar Mishima Yukio melakukan bunuh diri dengan cara ini, dan hal itu sangat mengejutkan seluruh negeri Jepang. Di luar Jepang, praktek seppuku lebih dikenal dengan hara-kiri (merobek perut).
Kedua ajaran moral tersebut mulai ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yang berarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas setunta tuntasnya, tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih tenggelam daripada kapal kembali surut ke pantai. Jangan langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan. Bukan seperti itu. Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang.
Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini
Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual.Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual.
Ada banyak persamaan antara semangat ksatria Eropa masa lalu dengan semangat bushido, karena sama-sama mementingkan keberanian, rasa malu, kehormatan, dll. Perbedaannya terletak pada kesetiaan. Hubungan antara seorang satria Eropa dengan bawahan adalah berdasarkan perjanjian sedangkan dalam bushido adalah semata-mata berkat kesetiaan.
Orang-orang di luar Jepang kerap mengasosiasikan semangat bushido dengan praktek seppuku yang tidak pernah dilakukan lagi di zaman modern ini. Seppuku adalah ritual bunuh diri dengan merobek perut sendiri dengan sebilah pedang sebagai bukti rasa tanggung jawab. Mengapa perut? Di masa-masa feodal dulu di Jepang, para pendekar perang menganggap perut sebagai tempat bermukimnya jiwa. Jadi pada waktu mereka harus membuktikan rasa tanggung jawab sebagai pendekar atas perbuatannya, mereka lebih memilih melakukan seppuku. Di jaman Edo, seppuku bahkan merupakan bentuk hukuman mati bagi anggota kelas samurai. Yang bersangkutan melakukan sendiri seppuku, untuk itu disediakan seseorang guna membantu menuntaskan kematian tersebut agar penderitaan tidak berlarut-larut. Dewasa ini seppuku sama sekali tidak dipraktekkan lagi. Kasus terakhir tercatat pada tahun 1970 ketika seorang sastrawan besar Mishima Yukio melakukan bunuh diri dengan cara ini, dan hal itu sangat mengejutkan seluruh negeri Jepang. Di luar Jepang, praktek seppuku lebih dikenal dengan hara-kiri (merobek perut).
Kedua ajaran moral tersebut mulai ditinggalkan namun dengan tingkat emosi berbeda. Jepang dengan harakirinya memiliki fislosofi rasa malu harus berakhir dengan kematian di tangan sendiri. Ini berbeda dengan Siri’ dari bugis-makassar yang berarti tidak selamanya harus mati, tapi masalah itu harus tuntas setunta tuntasnya, tidak ada kata pasrah, justru merekapun menganggap mati berarti pasrah dan tak mampu lagi mengatasi masalah. Dan tentunya karena latar belakang Religius maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih tenggelam daripada kapal kembali surut ke pantai. Jangan langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan. Bukan seperti itu. Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang.
Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini
Penetrasi besar-besaran budaya global melalui jalur globalisasi
telah membawa banyak perubahan di seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi
dengan besarnya pengaruh kekuatan ekonomi (economic power) negara-negara
maju. Hal ini menempatkan negara berkembang termasuk Indonesia pada
posisi yang serba sulit untuk menghindarinya. Satu-satunya jalan adalah
mengantisipasinya. Indonesia harus bisa meminimalisir efek negatif yang
ditimbulkan dari globalisasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan. Anak muda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini seharusnya memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, anak muda Indonesia yang sudah dijelaskan di awal, adalah anak muda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, anak muda akan lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda Indonesia. Mereka juga akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa untuk bangsanya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan. Anak muda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini seharusnya memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, anak muda Indonesia yang sudah dijelaskan di awal, adalah anak muda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, anak muda akan lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda Indonesia. Mereka juga akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa untuk bangsanya.
Pemimpin yang memiliki siri’ na pacce dalam dirinya, akan memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Pemimpin yang memegang teguh prinsip ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat mendengarkan aspirasi orang-orang yang mereka pimpin. Hal ini sangat sejalan dengan konsep negara kita yaitu negara demokrasi.
Meskipun etos siri’ na pacce berasal dari masyarakat Bugis-Makassar, namun etos ini sangat bisa diterima secara nasional. Karena di berbagai daerah Indonesia juga terdapat etos atau pandangan hidup yang hampir sama dengan konsep siri’ na pacce. Ada wirang yang hidup di masyarakat suku Jawa, carok pada masyarakat suku Madura, pantangpada masyarakat suku di Sumatera Barat, serta jenga pada masyarakat suku di pulau Bali. Kesemua pandangan hidup dari berbagai daerah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan siri’ na pacce, yaitu malu jika keadaan suku atau bangsa mereka tidak lebih baik dari suku atau bangsa lain. Kesemua konsep pandangan hidup tersebut menanamkan nilai-nilai luhur tentang semangat serta keberanian tanpa melupakan rasa lembut hati sebagai penyeimbangnya.
Sumber:
- Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik.
- Mohamad Laica Marzuki, Siri’ : Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1995), hlm. 214.
- Suriadi Mappangara, Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), hlm. 137-138.
- http://whyopu.blogspot.com
- http://vinderscout.wordpress.com
- http://maulanusantara.wordpress.com
- http://www.ppmrahmatulasri.com
- http://fairuzelsaid.wordpress.com/2011/06/27/siri-na-pacce/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar