Siang
hari, panas masih terik. Saya masih menyusuri jalan Irian dan
sekitarnya, berputar-putar dari jalan sempit kampung cina. Pun saya
tersesat di jalan Nusakambangan bertemu dengan Eric Salimin-Liem Hoek
Jin. Ditempatnya ia bercerita pada masa penjajahan, tentang ketokohan
Mayor Thoeng di Makassar.
*****
Sekumpulan
tentara Jepang Tokketai memburu keluarga Mayor Thoeng Liong Hoei.
Mata-mata menyebut, Mayor Thoeng telah melarikan diri dari kediamannya
di Jalan Bacan No 5. Tahun 1942, di perbatasan limbung Makassar, Mayor
Thoeng Liong Hoei bersama tujuh anggota keluarganya dibunuh tentara
Jepang.
Selain Mayor, mereka yang dibunuh adalah anak sang Mayor
bernama Thoeng Kok Sang, Thoeng Kok Tjien, Thoeng Kok Tjeng, dan Thoeng
Kok Leang. Satu menantu Mayor Thoeng Tan Hong Teng bersama dua
bersaudara Lie ikut dibunuh tentara Jepang.
Sementara tiga istri
sang Mayor berhasil kabur. "Hingga kini, kisah Mayor Thoeng terus
bergerilya dari mulut ke mulut," kata Liem. Liem masih keturunan marga
Thoeng, dari garis ibunya. "Cuma biasanya kalau dari garis ibu, Fam atau
She kita sudah hilang," ucapnya. Semakin saya penasaran, semakin
menarik perburuan saya tentang keluarga Thoeng ini. Setelah berada di
kediaman Liem Hoek Jin, berbekal rekomendasinya, saya disarankan
menghubungi keturunan langsung dari Mayor Thoeng bernama Thoeng Boeng
Kian atau Harry Kumala.
"Siapa yang tak kenal dengan keluarga kesohor Thung. Oke sebentar kita ketemu di Jalan penghibur," singkatnya.
Marga
Thoeng berasal dari Provinsi Hokkiang di Kota Sanchiong Desa Pangli.
"Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa sampai menyebar,"
kata Harry Kumala cicit Mayor Thoeng dari Istri kedua. Kumala, nama
belakang Harry adalah marga dari keluarga Mala yang konon memiliki garis
keturunan Melayu. "Nenek buyut saya itu, masih keturunan bangsawan
melayu yang diambil istri oleh Mayor," kata Harry yang memiliki nama
Tionghoa, Thoeng Boang Kian.
Setelah Jepang keluar dari
Indonesia, dan memasuki masa transisi pada Pemerintahan Soeharto.
Keluarga Thoeng dari keturunan Mayor Thoeng Liong Hoei menyebar hingga
ke luar negeri. Sejumlah keluarga mengubah nama mereka, sebab pada masa
itu nama dan segala macam yang berbau Tionghoa dilarang oleh pemerintah.
Harry
Kumala sempat menelusuri garis keturunan Thoeng hingga ke negeri
Tiongkok tahun lalu. "Disana memang ada rumah induk, keluarga Thoeng.
Mereka ini adalah memiliki garis keturunan dari raja Dinasti Shang.
Mayor Thoeng, adalah Mayor pertama di Makassar. Ia diberi gelar langsung
oleh ratu Belanda pada masa itu.
Ayahnya bernama Thoeng Tiong
Pie juga Kapitan pertama di Makassar. Namun, kesohoran Mayor Thoeng
lebih banyak terdegar dibanding ayahnya. "Bahkan gubernur Hindia Belanda
di Jakarta takut sama Mayor. Karena Mayor punya tongkat yang ujungnya
bertanda cap pemberian dari Ratu," kata dia. Jika sudah begitu, kata
Harry, terkadang Mayor Thoeng justru menghukum tentara Belanda yang
nakal. "Tentara Belanda bisa disetrupnya, dicambuknya di depan
kita-kita," tambahnya.
Oleh pemerintah hindia belanda, ada
kesepakatan dimana sang Mayor berhak mengatur warganya yang berasal dari
garis Tionghoa. "Mayor itu, semacam kepalanya orang tionghoa, untuk
memudahkan pemberian upeti atau menarik pajak kepada pemerintah Belanda
masa itu," ucap Harry.
Sebagai
tokoh dalam masyarakat Tionghoa pendatang di makassar. Mayor Thoeng
hampir menguasai sebagian wilayah dagang di Utara Makassar. "Setelah
Jepang terusir, anak cicitnya menyebar di Makassar dan di luar negeri.
Mereka umumnya jadi pebisnis yang masih bertahan hingga sekarang," kata
Liem Hoek Jin.
Adalagi tokoh-tokoh pejuang Tionghoa keturunan
Thoeng di Makassar pada jaman penjajahan Belanda. Sebut saja Thoeng Boen
Tjiang, Thoeng Wan Ting, dan Thoeng Tiong Too. Mereka ini adalah tokoh
pejuang yang diberi gelar pahlawan oleh Kantor Legiun Veteran Sulawesi
Selatan. “Banyak memang cerita, bahwa warga Tionghoa berjuang
mempertahankan kemerdekaan dari Belanda maupun Jepang melalui cara
sembunyi-sembunyi,” jelas Shaifuddin, peminat kebudayaan pecinan di
Makassar. “Perjuangan mereka misalnya menyembunyikan para pejuang
indonesia di rumah dagang warga Tionghoa. Termasuk saat para pejuang
Indonesia melakukan pertemuan-pertemuan tertutup.” Shaifuddin
menyebutkan, tempat persembunyian yang dahulu digunakan warga Tionghoa
membantu pejuang Indonesia, salah satunya berada di Jalan Irian yang
lokasinya menjadi pabrik es.
Di Makassar, tepatnya di kampung cina masih ada peninggalan
kediaman Mayor Thoeng. Informasi Harry Kumala saya telusur hingga sampai
ke kediaman pertama Mayor Thoeng yang terletak di Jalan Bacan Nomor 5.
Disini, saya bertemu keluarga Tunger, cucu langsung keluarga Mayor
Thoeng. "Disinilah kediaman sang Mayor. Bahkan saya yakin, ini adalah
rumah bapaknya yang kapitan. Konon khabarnya ia dulu dilahirkan disini,"
kata Freddy Tunger atau Thoeng Thiong Hoei. ia menyarankan saya menuju
rumah paling ujung dari Mayor Thoeng.
Rumah ini, telah dibagi
menjadi tiga petak yang luas. "Tapi dari tampilan luarnya kami tak
merubahnya, atas pesan papa'," katanya. Kharismatik, tegas, itulah kesan
pertama saya saat melihat langsung lukisan sang Mayor berukuran 3x1
meter ini.
Sulit membayangkan ia tewas karena menolak bekerja
sama dengan tentara Jepang. Lebih sulit lagi membayangkan saat ia tak
dikenang sebagai tokoh di Makassar. Justru di negeri Belanda,
peninggalan dan silsilah Mayor Thoeng terpelihara dengan baik.
"Barangkali karena pemerintah disana lebih peduli. Sebab, pemberian
Mayor itu, tak lepas dari keluarga kerajaan disana," ucap Freddy.
Bisa dibilang Marga Thoeng banyak berjasa di Makassar. Selain keturunan
Mayor Thoeng, adalagi keluarga Thoeng lain yang berjasa. Keluarga ini
berjasa menyiarkan agama islam di Makassar. Namanya, Thoen Chen Ting
atau terkenal dengan sebutan Haji Baba Guru. Putranya bernama Thoeng
Tian Kiem atau Haji Faishal Thung. Dia adalah seorang pengelola pertama
Stadion Mattoangin Makassar, sekaligus pendiri dan ketua pertama
Pengurus Perhimpunan Islam Tionghoa tahun 1970-an.
"Sejak Indonesia di bawah era Soeharto bapak mengganti namanya menjadi
Haji Faisal Thung," kata putri perempuan Thoeng Tian Kim, Lusie Faisal
Thung. "Kakek saya, bisa dibilang warga keturunan penganut agama Islam
pertama di Makassar. Dahulu, sehari-harinya ia mengajar mengaji di Jalan
Muchtar Luthfi yang terkenal dengan kampung Maluku," ungkapnya.
Paul Tan yang masih keluarga jauh Haji Baba Guru mengatakan, Marga
Thoeng tidak hanya menyebar di Makassar. Haji Baba Guru misalnya, ia
menyebutkan, tiba pertamakali di kabupaten Pangkep. “Mereka menyerap
Agama Islam disana, lalu menyebarkannya ke Makassar saat ada aturan
belanda yang mewajibkan setiap pendatang ditempatkan di utara kota
Makassar,” katanya.
Tentu masih banyak keturunan Thoeng yang lain di Makassar ini, yang
tidak terlacak lagi. Kalau mau melihat langsung silsilah keluarga
Thoeng, silahkan mampir ke Yayasan atau klenteng marga Thoeng di Jalan
Sulawesi. Ya, saya juga masih mencari keluarga kakek saya dari keluarga
Haji Faisal Thung-Thoeng Thian Kiem. Ia adalah anak dari Thoeng Chen
Ting, penyebar agama islam di kampung Maluku.
"Kami lama diam,
karena kami masih ada rasa warga keturunan, warga kelas dua..?" tanya
mereka yang saya temui dan puluhan tahun terdiam berbicara Mator Thoeng
dan Tionghoa di Makassar..
Menelusuri Para Pejuang Tionghoa di Makassar
Di Makassar, ada sebuah Makam tua tak bertuan di Blok F, Taman Makam
Pahlawan, Jalan Urip Sumoharjo. Makam ini, hampir tak pernah lagi
dikunjungi kerabat keluarga. Letaknya satu kompleks dengan makam pejuang
yang melawan Belanda di masa Westerling. Letaknya di sebelah kiri pintu
utama Taman Makam Pahlawan (TMP). Di batu nisannya, masih tertera nama
S. Kok Tjoang.
Nama yang tertera dari ukiran batu, masih begitu jelas terbaca. Begitu
juga dengan tahun kematiannya. "GR 3-1-1-1947. S. Kok Tjoang. 121.
Lapris," begitu, tulisan yang tertera di batu nisan. S. Kok Tjoang. Ia
diperkirakan gugur saat melawan tentara Westerling. Ia adalah salah satu
pejuang yang gugur di tahun 1947, masa di mana penjajah belanda mulai
memasuki Makassar kali kedua, setelah Jepang menyerah.
Selain S. Kok Tjoang, adalagi satu makam Tionghoa bernama Liem Kien San.
Ia adalah veteran perang berpangkat Kapten Infanteri yang meninggal di
tahun 1976. Menurut Jumain, Koordinator pengelola Taman Makam Pahlawan,
hanya ada dua makam milik Tionghoa yang dimakamkan di TMP ini. "Hanya
dua saja memang. Satu pejuang yang gugur, satunya lagi veteran perang,"
katanya.
Jumain tak ingat persis kapan terakhir kali, kedua makam itu dikunjungi
oleh kerabat keluarganya. "Kalau makam S. Kok Tjoang saya hampir tak
pernah melihat ada kerabat yang mengunjunginya. Beda dengan makam Liem
Kien San," katanya. Jumain hanya mengingat, Liem Kien San, dahulu adalah
seorang pelaut yang ditarik menjadi pasukan bersenjata Skodam. "Kalau
ceritanya seperti itu. Makam ini terakhir kalau tak salah masih
dikunjungi keluarganya sekitar setahun lalu," katanya.
Di jaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebenarnya, sudah banyak
masyarakat Tionghoa yang berpartisipasi. Di masa itu, perjuangan juga
masih dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Menurut Eric Salimin,
tokoh Tionghoa Makassar, warga Tionghoa di masa itu ada yang melakukan
perjuangan secara terang-terangan, maupun dengan cara sembunyi. Mereka
misalnya, membantu penjuang Indonesia melalui persediaan logistik atau
menyelundupkan para pejuang dari rumah ke rumah.
"Perjuangan mereka ada, meskipun itu tidak besar tapi saya kira lumayan
penting," katanya. Perjuangan kecil itu dilakukan, kata Eric, mengingat
besarnya resiko yang harus ditranggung masyarakat Tionghoa di masa itu.
"Kalau ketahuan kan, hukumannya bisa gawat," katanya.
Yongris, salah satu tokoh muda Tionghoa juga berpendapat sama. "Kita
banyak pejuang Tionghoa yang sebenarnya juga terlupakan. Yang paling
terkenal belakangan ada nama Liem Kien San," kata Yongris, sembari
mengatakan, keturunannya masih ada di Makassar, sampai sekarang. "Ada,
saya masih ingat salah satu keturunannya itu bernama Yulie, yang punya
rumah makan Panorama," ucapnya.
Selain Liem Kien San, dan S. Kok Tjoang. Nama-nama dari Marga Thoeng
juga sempat tercatat sebagai veteran pejuang adalah, Thoeng Boen Tjiang
(Musa Edenton), Thoeng Wan Ting (Fatimah), Thoeng Tiong Too (Sonny
Tunru) dan Thung Kang Sang. Thoeng Boen Tjiang atau Musa Edenton,
keturunannya masih sempat terlacak. "Kalau Edenton itu, keturunannya
seorang Dokter, salah satunya bernama James Edenton berpraktek di Rumah
Sakit hikmah," kata Hary Kumala, salah satu pengurus yayasang Marga
Thoeng di Jalan Sulawesi.
Marga Thoeng Yang Menjadi Pejuang | NPV/No. Identitas Veteran
Thoeng Boen Tjiang (Musa Edenton) | 17.063.953
Thoeng Wan Ting (Fatimah) | 17.039.495/ 31 Juli 1982
Thoeng Tiong Too (Sonny Tunru) | 17.038.836/ 31 Juli 1982
Thung Kan Sang | 17.038.722/ 31 Agustus 1989